Republik
Dormogati
Karya : Beni Purna I, S. Pd.
Aku
hanyalah seorang rakyat kecil yang berusaha menceritakan betapa eloknya
republik dormogati. Sudah berapa kali ku tuliskan cerita tentangmu namun
cerita-ceritaku tak pernah berarti dan
hanya berlalu begitu saja. Cerita-cerita yang ku tuliskan ternyata hanyalah
kosong dan berdebu. Akhir-akhir ini banyak ceritaku yang tak rampung, berhenti
di tengah-tengah. Barangkali kelanjutan ceritanya harus aku ukir di dunia
nyata. Namun sebelum itu, aku ingin melanjutkan ceritaku tentang republik
dormogati ini. Barangkali kalian mau mendengarkannya sobat. Kalian tahu sobat
kenapa aku menamakan republik ini republik dormogati? Ya, karena bangsa ini
penuh dengan kematian kemanuisaan.
Aku
selalu membayangkan bagaimana rasanya menjadi wakil rakyat? Mungkin enak ya,
lihat saja mereka. Mereka malah asik menimbun kekayaan, memburu hedonisme,
pesta phora bekerja hanya sekedar bekerja alias datang, duduk, diam dan tetek
mbengek lainnya. Maka tak usah heran bila hidup mereka bergelimpangan harta,
mobil baru, rumah mewah, tak ketinggalan apartemen serta yang lebih
mencengangkan lagi perempuan simpanannya.
“Apakah
dengan seperti ini bangsa kita akan maju sementara kematian kemanusiaan makin
merajalela?” kataku dalam batin memandang mentari pagi.
Lamunanku
semakin memuncak. Republik Dormogati kami menangis. Hatiku pilu ketika melihat
mereka masih buta mata hatinya untuk menerobos dinding-dinding tebal. Ku coba
pejamkan mata ini. Menutup pikiran dari carut marut permasalahan yang terus
menghujam bangsa ini. Ku pikir suatu saat aku harus menyelamatkan bangsa ini.
Tiba-tiba lamunanku tersadar ketika tangan kecil itu menyentuh pundakku.
“Apa
yang sedang kau pikirkan Ben?” tanya Joko
“Ah,
tidak. Aku hanya sedang membayangkan bagaimana rasanya jadi orang kaya”
timpalku dengan polosnya
“Kau
masih saja suka bermimpi. Duniamu itu dunia sekarat, kau harus bangun dari
mimpi-mimpi burukmu itu Ben!” seru Joko dengan suara lantang bak menantang
kerasnya kehidupan.
Joko
lalu duduk santai sembari menikmati secangkir kopi hangat, dipegangnya koran
ditangannya.
“Pagi-pagi sudah melamun mending kamu baca
koran sajalah ini!” kata Joko memberiku koran.
Gambar
dalam koran itu cukup membuatku terpikat. Dari kejauhan ku lirik gambar itu.
Ketika Joko sudah mulai pergi barulah ku lihat. Aku tercengang ketika mendapati
artikel tentang gambar itu. Artikel tentang Emon si predator buas anak alias
pelecehan seksual pada anak. “Lagi-lagi beritanya itu saja. Hem..ternyata
banyak orang sakit jiwa ya di Indonesia” gumamku lagi dalam batin.
Ku
coba membolak-balikan koran sembari membacanya sekilas. Ku temui berita tentang
pendidikan yang dirasa masih mahal. Mungkin penulis paham betul dengan apa yang
terjadi dengan pendidikan di Indonesia. Masyarakat kita sebagian besar masih
hidup dibawah garis kemiskinan. Bahkan untuk makan beras saja susah apalagi
untuk sekolah. Sekarang lihat saja, gara-gara bbm kemarin naik, harga
barang-barang pun jadi ikut naik. Makin susah saja hidup ini!.
Aku
jadi ingat tetanggaku. Namanya Andi. Dia ingin sekali melanjutkan sekolah tapi
apa daya Ibunya hanyalah seorang kuli pabrik Genteng mobat-mabit yang bekerja
dengan upah yang sangat minim. Andi hanya lulusan SMP. Terakhir ku lihat Ia
menjadi seorang pengamen. Memang miris dan terlihat tragis. Mungkin masih
banyak anak-anak yang malah tidak mengenyam pendidikan di pelosok-pelosok sana.
“Libur
po Ben?” tanya Yusuf sembari memanaskan motornya
“Ora
ki mengko mangkat jam songo” timpalku melihat Ia sejenak
“Tumben
kau baca koran, sedang membaca berita apa?” Yusuf bertanya mengernyitkan dahi
“Soal
pendidikan, kebutuhan pokok, bbm yang naik dan masih banyak ini” Aku menghela
nafas
“Apa
pedulimu Ben? Salah satunya soal pendidikan. Iya aku tahu kau ini kuliah di
fakultas pendidikan. Namun apa yang bisa kamu lakukan? Pendidikan kini hanya
menjadi alat kekuasaan, mengajarkan yang tidak benar, mendidik yang tidak manusiawi
dan sejak itu pula pendidikan pun turut menjadi suatu kepalsuan” celoteh Yusuf penuh
kekecewaan dengan fenomena pendidikan yang terjadi akhir-akhir ini
Aku
belum bisa memberikan jawabannya. Ia berlalu demi sesuap nasi.
Ku
nikmati sisa-sisa pagi itu dengan bercumbu bersama koran. Koran itu sudah
semakin lusuh ditanganku. Ketika waktu sudah hampir pukul 09.00 maka aku bersiap-siap
menjelma menjadi ketua kelas lebih tepatnya pemimpin di kelas. Meskipun masih
dalam kelas setidaknya aku telah berusaha melakukan apa yang harus ku lakukan
sesuai kapasitasku. Karena aku sadar, aku adalah karya sastra ciptaan Tuhan
terbesar untuk mengurusi alam semesta. Dengan kekurangan yang ku miliki maka
Tuhanlah yang mengubahnya menjadi suatu kelebihan.
Aku
mulai menyalakan sepeda motorku yang blutuk. Maklum sudah tua namun penuh
kenangan. Ketika sampai jalan menuju pasar aku melihat kerumunan orang. Aku
penasaran ada apa sebenarnya. Aku pun ikut mencebur lebur di tengah keramaian
itu.
“Mohon
maaf Pak, ini ada apa kok ramai-ramai begini?” tanyaku sekonyong-konyongnya
“oh
ini Mas, tadi Ibunya kecopetan ketika hendak ke pasar” jawab seorang bapak yang
sedang antusias menonton
Dompet
yang digenggamnya ditangan Ibu tersebut raib di minta paksa oleh pencopet.
Pencopet itu sedang dikejar. Entah sudah sampai mana tidak tahu yang jelas
mereka menghilang ditelan dunia.
Apa
mau dikata? Yang namanya takdir memang tidak ada yang tahu. Ya takdir. Kini aku
tahu kenapa Tuhan tidak mau mengabulkan doaku. Kalian tahu kenapa sobat? Sebab
aku berdoa melawan takdirku. Jadi aku pikir apapun yang dihadirkan pada hidup
kita adalah Allah yang menghadirkannya. Dan jangan kalian pikir benda-benda
disini adalah benda-benda mati semua. Kelak benda-benda mati di sini akan
menjadi saksi di alam keabadian sana.
“Kasian”
kataku lirih
“Memangnya
kenapa Ben?” tanya Langgeng yang duduk disampingku
“Tadi
di jalan, aku melihat seorang Ibu dicopet” timpalku penuh haru
“Kasian,
banyak kasus kejahatan ya Ben akhir-akhir ini. Mungkin pencopetnya lagi tidak
punya uang soalnya sekarang apa-apa kan mahal” ujar Langgeng berdalih
Kalau
menurut kalian bagaimana sobat? Lihat saja sekitar kita. Apakah kau tak melihat
kematian kemanusiaan? Mulai dari persoalan moral, pendidikan, kemiskinan,
kejahatan, bahkan yang mencengangkan lagi ketika kerukunan hidup antar umat
beragama tidak lagi harmonis. Melarang orang lain untuk beribadah. Apa itu
tidak lugas dan menyakitkan?
Kita
semua telah memilih persiden untuk Republik Dormogati ini. Kami memang tidak
terlalu banyak berharap pada engkau. Yang jelas kami hanya menginginkan supaya
Bapak mau mengobrol dengan kami, mendengarkan jeritan hati kami dan ala
kadarnya. Ya ngobrol apa sajalah mulai dari peningkatan pendidikan, peningkatan
lapangan pekerjaan, kenyamanan dalam peribadatan, dan tetek mbengek lainnya.
Kami senang jika engkau mau berbicang-bincang dengan kami di tempat yang ala
kadarnya. Setidaknya mau mewujudkan Indonesia yang lebih baik untuk kami.
Terima kasih Bapak Presiden…^_^
No comments:
Post a Comment