Thursday, May 17, 2018

Republik Dormogati





Republik Dormogati
Karya  : Beni Purna I, S. Pd.


Aku hanyalah seorang rakyat kecil yang berusaha menceritakan betapa eloknya republik dormogati. Sudah berapa kali ku tuliskan cerita tentangmu namun cerita-ceritaku tak pernah  berarti dan hanya berlalu begitu saja. Cerita-cerita yang ku tuliskan ternyata hanyalah kosong dan berdebu. Akhir-akhir ini banyak ceritaku yang tak rampung, berhenti di tengah-tengah. Barangkali kelanjutan ceritanya harus aku ukir di dunia nyata. Namun sebelum itu, aku ingin melanjutkan ceritaku tentang republik dormogati ini. Barangkali kalian mau mendengarkannya sobat. Kalian tahu sobat kenapa aku menamakan republik ini republik dormogati? Ya, karena bangsa ini penuh dengan kematian kemanuisaan.
Aku selalu membayangkan bagaimana rasanya menjadi wakil rakyat? Mungkin enak ya, lihat saja mereka. Mereka malah asik menimbun kekayaan, memburu hedonisme, pesta phora bekerja hanya sekedar bekerja alias datang, duduk, diam dan tetek mbengek lainnya. Maka tak usah heran bila hidup mereka bergelimpangan harta, mobil baru, rumah mewah, tak ketinggalan apartemen serta yang lebih mencengangkan lagi perempuan simpanannya.
“Apakah dengan seperti ini bangsa kita akan maju sementara kematian kemanusiaan makin merajalela?” kataku dalam batin memandang mentari pagi.
Lamunanku semakin memuncak. Republik Dormogati kami menangis. Hatiku pilu ketika melihat mereka masih buta mata hatinya untuk menerobos dinding-dinding tebal. Ku coba pejamkan mata ini. Menutup pikiran dari carut marut permasalahan yang terus menghujam bangsa ini. Ku pikir suatu saat aku harus menyelamatkan bangsa ini. Tiba-tiba lamunanku tersadar ketika tangan kecil itu menyentuh pundakku.
“Apa yang sedang kau pikirkan Ben?” tanya Joko
“Ah, tidak. Aku hanya sedang membayangkan bagaimana rasanya jadi orang kaya” timpalku dengan polosnya
“Kau masih saja suka bermimpi. Duniamu itu dunia sekarat, kau harus bangun dari mimpi-mimpi burukmu itu Ben!” seru Joko dengan suara lantang bak menantang kerasnya kehidupan.
Joko lalu duduk santai sembari menikmati secangkir kopi hangat, dipegangnya koran ditangannya.  
 “Pagi-pagi sudah melamun mending kamu baca koran sajalah ini!” kata Joko memberiku koran.
Gambar dalam koran itu cukup membuatku terpikat. Dari kejauhan ku lirik gambar itu. Ketika Joko sudah mulai pergi barulah ku lihat. Aku tercengang ketika mendapati artikel tentang gambar itu. Artikel tentang Emon si predator buas anak alias pelecehan seksual pada anak. “Lagi-lagi beritanya itu saja. Hem..ternyata banyak orang sakit jiwa ya di Indonesia” gumamku lagi dalam batin.

Ku coba membolak-balikan koran sembari membacanya sekilas. Ku temui berita tentang pendidikan yang dirasa masih mahal. Mungkin penulis paham betul dengan apa yang terjadi dengan pendidikan di Indonesia. Masyarakat kita sebagian besar masih hidup dibawah garis kemiskinan. Bahkan untuk makan beras saja susah apalagi untuk sekolah. Sekarang lihat saja, gara-gara bbm kemarin naik, harga barang-barang pun jadi ikut naik. Makin susah saja hidup ini!.
Aku jadi ingat tetanggaku. Namanya Andi. Dia ingin sekali melanjutkan sekolah tapi apa daya Ibunya hanyalah seorang kuli pabrik Genteng mobat-mabit yang bekerja dengan upah yang sangat minim. Andi hanya lulusan SMP. Terakhir ku lihat Ia menjadi seorang pengamen. Memang miris dan terlihat tragis. Mungkin masih banyak anak-anak yang malah tidak mengenyam pendidikan di pelosok-pelosok sana.
“Libur po Ben?” tanya Yusuf sembari memanaskan motornya
“Ora ki mengko mangkat jam songo” timpalku melihat Ia sejenak
“Tumben kau baca koran, sedang membaca berita apa?” Yusuf bertanya mengernyitkan dahi  
“Soal pendidikan, kebutuhan pokok, bbm yang naik dan masih banyak ini” Aku menghela nafas
“Apa pedulimu Ben? Salah satunya soal pendidikan. Iya aku tahu kau ini kuliah di fakultas pendidikan. Namun apa yang bisa kamu lakukan? Pendidikan kini hanya menjadi alat kekuasaan, mengajarkan yang tidak benar, mendidik yang tidak manusiawi dan sejak itu pula pendidikan pun turut menjadi suatu kepalsuan” celoteh Yusuf penuh kekecewaan dengan fenomena pendidikan yang terjadi akhir-akhir ini
Aku belum bisa memberikan jawabannya. Ia berlalu demi sesuap nasi.
Ku nikmati sisa-sisa pagi itu dengan bercumbu bersama koran. Koran itu sudah semakin lusuh ditanganku. Ketika waktu sudah hampir pukul 09.00 maka aku bersiap-siap menjelma menjadi ketua kelas lebih tepatnya pemimpin di kelas. Meskipun masih dalam kelas setidaknya aku telah berusaha melakukan apa yang harus ku lakukan sesuai kapasitasku. Karena aku sadar, aku adalah karya sastra ciptaan Tuhan terbesar untuk mengurusi alam semesta. Dengan kekurangan yang ku miliki maka Tuhanlah yang mengubahnya menjadi suatu kelebihan.
Aku mulai menyalakan sepeda motorku yang blutuk. Maklum sudah tua namun penuh kenangan. Ketika sampai jalan menuju pasar aku melihat kerumunan orang. Aku penasaran ada apa sebenarnya. Aku pun ikut mencebur lebur di tengah keramaian itu.
“Mohon maaf Pak, ini ada apa kok ramai-ramai begini?” tanyaku sekonyong-konyongnya
“oh ini Mas, tadi Ibunya kecopetan ketika hendak ke pasar” jawab seorang bapak yang sedang antusias menonton
Dompet yang digenggamnya ditangan Ibu tersebut raib di minta paksa oleh pencopet. Pencopet itu sedang dikejar. Entah sudah sampai mana tidak tahu yang jelas mereka menghilang ditelan dunia.
Apa mau dikata? Yang namanya takdir memang tidak ada yang tahu. Ya takdir. Kini aku tahu kenapa Tuhan tidak mau mengabulkan doaku. Kalian tahu kenapa sobat? Sebab aku berdoa melawan takdirku. Jadi aku pikir apapun yang dihadirkan pada hidup kita adalah Allah yang menghadirkannya. Dan jangan kalian pikir benda-benda disini adalah benda-benda mati semua. Kelak benda-benda mati di sini akan menjadi saksi di alam keabadian sana.
“Kasian” kataku lirih
“Memangnya kenapa Ben?” tanya Langgeng yang duduk disampingku
“Tadi di jalan, aku melihat seorang Ibu dicopet” timpalku penuh haru
“Kasian, banyak kasus kejahatan ya Ben akhir-akhir ini. Mungkin pencopetnya lagi tidak punya uang soalnya sekarang apa-apa kan mahal” ujar Langgeng berdalih
Kalau menurut kalian bagaimana sobat? Lihat saja sekitar kita. Apakah kau tak melihat kematian kemanusiaan? Mulai dari persoalan moral, pendidikan, kemiskinan, kejahatan, bahkan yang mencengangkan lagi ketika kerukunan hidup antar umat beragama tidak lagi harmonis. Melarang orang lain untuk beribadah. Apa itu tidak lugas dan menyakitkan?
Kita semua telah memilih persiden untuk Republik Dormogati ini. Kami memang tidak terlalu banyak berharap pada engkau. Yang jelas kami hanya menginginkan supaya Bapak mau mengobrol dengan kami, mendengarkan jeritan hati kami dan ala kadarnya. Ya ngobrol apa sajalah mulai dari peningkatan pendidikan, peningkatan lapangan pekerjaan, kenyamanan dalam peribadatan, dan tetek mbengek lainnya. Kami senang jika engkau mau berbicang-bincang dengan kami di tempat yang ala kadarnya. Setidaknya mau mewujudkan Indonesia yang lebih baik untuk kami. Terima kasih Bapak Presiden…^_^

No comments:

Post a Comment