Nafas Perenungan
Karya : Beni Purna I, S. Pd.
Aku terhanyut oleh kesibukan. Kesibukan
membuatku tak punya waktu lagi untuk bercumbu dengan pena. Aku lupa kapan
penaku terakhir menari. Yang ku tahu kini penaku mulai usang dan tumpul untuk
menulis kembali. Namun, sejauh ini aku melangkah, aku ingin mengasah kembali
penaku. Bercerita tentang hitam putihnya kehidupan. Seperti kata almarhum
Giwangkara, “kita terkadang menghitam seperti kopi”. Berangkat dari kegelisahan
tersebut, aku ingin supaya tulisanku mampu menggerakan hati pembaca untuk
selalu ingat bahwa apa yang dihadirkan dalam kehidupan manusia adalah
kehendak-Nya.
Termasuk perjalanan panjangku selama 4
tahun silam demi selembar ijazah. Aku bisa saja memilih jalan yang mudah, tetapi
itu tidak akan mengajariku arti sebuah perjuangan. Dan lebih ironis aku tidak
akan pernah bertemu dengan dosen sastra yang sangat kusegani. Meskipun aku
perempuan, aku berani memilih dosen pembimbing skripsi tersebut, tidak seperti
kawan-kawanku yang lain. Yang katanya, “susah jika bimbingan dengan beliau
sering revisi atau alasan malas lainnya”. Pertemuan kami yang singkat
menyisakan kesan yang membekas dengan Bapak Moh. Fakhrudin yang selalu
membimbing kami secara utuh, tulus, dan ikhlas. Tiba-tiba ada nasihat terngiang
di dalam lubuk sanubari.
“Selamat kepada kalian yang telah
berhasil menjadi sarjana. Ada yang sudah mengajar?” tanya Beliau kepada kami.
Suasana hening beberapa saat. Lalu kami saling menatap satu sama lain sembari
menggelengkan kepala dan menjawab belum secara serempak. Senyum lebar menghiasi
pipi kami. “Saya berharap semoga ada yang menjadi guru. Masa iya Anda kuliah di
FKIP tidak ada yang menjadi guru. Dan semoga ilmu yang kalian dapatkan dari
kampus dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari” tambahnya penuh
petuah.
Aku mencoba meresapi kata-kata terakhir
Beliau. Aku mulai belajar menulis lagi sekalipun tulisanku masih tetap saja
jelek. Ada masa ketika Tuhan akan mengabulkan doaku dan memberikan ruh terhadap
hasil karya ciptaku. Bukankah Bapak Ahmad Tohari, Ibu Asma Nadia, Pak Junaedi,
Pak Djee, Pak Soekoso dan beberapa sastrawan lainnya pernah sepertiku juga? Aku
mencoba memotivasi diriku berharap ada percikan api yang berkobar mampu
membakar semangat, mengusir rasa malas yang terkadang mengakar kuat dalam
relung hati. Hatiku berdesir. “Jika Tuhan mengabulkan doaku, aku ingin sekali
mendatangi tokoh-tokoh penting yang sedikit banyak mengubah hidupku” gumamku
dalam hati.
Malam hari ini di tempat biasa aku duduk
sembari melamun. Aku sering mengisi waktu istirahat usai latihan dengan duduk
melamun bersandaar di kusen jendela. Pikiranku mengembara ketika awal bergabung
dengan anak-anak teater. Sebenarnya aku dilarang sih oleh orang tua ikut UKM
Teater karena sering kegiatan malam apalagi aku perempuan. Dan pastinya orang
tuaku sangatlah khawatir. Namun, aku meyakinkan orang tuaku bahwa aku bisa jaga
diri dan berproduktif menghasilkan karya.
Aku menengadah. Kupejamkan mata dan
kunikmati belaian angin malam yang menenangkan qolbu. Desah nafasku memburu arti
kehidupan. Aku sering merenungkan rentetan kejadian yang Tuhan hadirkan dalam kehidupanku.
Sekalipun itu pahit, aku berusaha belajar dari pahitnya kehidupan. Kubuka
mataku perlahan-lahan dan kularikan pandangan ke bawah penuh hilir mudik
kendaraan. Daun-daun yang menari tertiup angin tak luput dari sergapanku. Lalu
ku alihkan mata ku menatap angkasa. Aku terpukau melilat bintang gemintang yang
berkilau indah. Namun, di antara bintang tersebut ada satu yang paling
berkilau. Tiba-tiba ada semangat yang menyelinap untuk membuktikan bahwa aku
harus dapat bersinar terang seperti bintang tersebut.
Esok harinya aku kian semangat mencari
pekerjaan lagi. “Tak usah risaukan pekerjaan yang telah menolakmu. Jangan
menunggu kesempatan, tetapi jemputlah kesempatan itu” kata temanku memberikan
dukungan. Sebenarnya ada sih niat menjadi guru, tetapi sedang aku renungkan karena
beberapa hal. Jadi, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Memang akan
sulit karena akreditasi progdi C. Dan itu tidak membuatku patah semangat. “Ini
bukan persoalan akreditasi. Akreditasi progdi mau C atau entah apa pun itu
kalian tidak perlu risau. Ini tentang sejauh mana kalian mau belajar dan
mengaktualisasikan ilmu yang kalian dapat dari kampus” ujar Bu Suci dosen muda
yang penuh perhatian kepada semua mahasiswanya. Aku senang bila bertemu
dengannya karena bisa berbagi luka dan membuatku merasa lebih baik.
Terakhir ku dapati pesan singkat menyapa
yang berbunyi, “Selamat Anda kami terima, silakan datang ke kantor kami guna
melakukan interview dan wawancara. Segala keperluan administrasi pemberangkatan
ke kantor kami yang terletak di Bekasi akan ditanggung oleh kami” kurang lebih
seperti itu informasinya. Namun, tiba-tiba aku teringat pesan Ibu yang
menyuruhku untuk bekerja di daerah sekitar sini saja. Kembali aku renungkan dan
memutuskan untuk tidak jadi mengambil job tersebut.
Memang Tuhan tidak menjelaskan akan jadi
apa aku nantinya. Aku pun percaya bahwa rezeki sudah ada yang mengatur.
Bukankah ini sudah tercatat dalam lauh mahfudz? Aku hanya bisa berusaha dan
berdoa. Aku pun juga sudah memasukkan lamaran pekerjaanku ke beberapa instansi
pemerintah mulai dari pengadilan agama, HRD mall, pegadaian, bank, toyota
motor, astra motor dan job fair aku datangi demi mencari sesuap nasi. Aku tak
ingin merepotkan orang tua lebih jauh lagi. Bahkan, aku menolak melanjutkan kuliah
S2 karena aku ingin melanjutkannya tetapi menggunakan uang keringat sendiri.
Aku rasa itu jauh lebih estetis dan aku
juga ingin menunjukkan bahwa aku ini wanita hebat. Aku sudah tak tega melihat
peluh yang membasahi tubuh mungil Ibu, hatiku melolong melihat Bapak beradu
dengan sengatan matahari, hatiku luluh tersentuh perjuangan Kakak dari pagi
sampai dengan malam. Itu semua demi aku. Jadi, aku harus meradang melawan
keterbatasan. “Kali ini aku yang jadi pemeran utama, Bapak, Ibu, dan Kakak cukup
jadi pendukungku” ungkapku penuh semangat menggebu-gebu.
Ku ambil hpku untuk berkirim kabar
kepada yang tercinta.
“Sayang tanggal 2 dan 3 Maret selo
nggak?” tanyaku membuka percakapan.
“Aku tanggal 3 Maret nggak bisa Sayang”
timpalnya.
“Kalau tanggal 2 bisa menemani aku?”
pintaku penuh harap.
“Ke mana Sayang?” tanyanya.
“Ke acara job fair Sayang. Memang Sayang
tanggal 3 mau ngapain ta?”
“Iya deh besok Sayang aku temenin, aku
tanggal 3 ikut seminar jurnalistik”
Aku sangat bersyukur mempunyai pacar
yang menghayati kehidupan. Kebetulan saja aku dan dia sama-sama menyukai sastra
karena sastra mengajarkan kami untuk memanusiakan manusia, mendewasakan diri,
mengolah kepekaan, dan mengubah dari yang gelap menuju terang. Dari sastra pula
lah aku menjadi dekat dengannya dan bersemi bunga dalam lubuk sanubari. Kami
berusaha menjaga bunga ini agar tetap tumbuh harum mewangi. Bagiku dia itu
laksana bunga yang indah. Aku berdoa dari hati yang terdalam semoga dia bisa
jadi imam baik di dunia maupun di akhirat.
Hari Senin, 2 Maret 2015 aku bersama
pacarku mengunjungi job fair yang diadakan Pemkab setempat di kampus IAINU.
Kami ke sana setelah ba’da zuhur. Sesampai di sana, ternyata lautan manusia
sudah menyesaki ruang audit penuh antusias mencari pekerjaan. Dan setelah
mondar-mandir ke sana ke sini, akhirnya aku menyerahkan berkas lamaran ke
beberapa pekerjaan. Ada pula yang awalnya sahabat, di ruang inilah memaksa kami
untuk saling menjadi lawan.
Tuhan begitu piawai menghadirkan unsur
kemenarikan alur, salah satunya adalah surprise.
Aku terkejut ketika ada sumber suara yang membekas ditelinga. Ku tengok ke
samping kanan dan kiri, tidak ada siapa-siapa. Bahkan hal itu membuat pacarku
bingung dengan sikapku. “Sayang, sedang cari siapa?” tanyanya penuh heran. “Tidak
Sayang, tadi aku merasa seperti ada yang memanggilku” jawabku. Tiba-tiba ada tangan
menjamah pundakku dari belakang. Aku kaget ternyata dia adalah Syarifudin,
teman sewaktu SMA.
“Indah ya” sapanya sembari tersenyum
Aku hanya berusaha membalasnya dengan
senyuman.
“Lagi cari pekerjaan juga ya Ndah?”
tanya Udin memulai percakapan.
“Iya ini. Bagaimana kabarnya?” tanyaku
basa-basi.
“Alhamdulillah baik Ndah, sama siapa?”
tanyanya sembari matanya tertuju kepada seseorang di sampingku.
“Oh iya Din, ini kenalin Beni” sahutku
memperkenalkannya.
“Beni” ucapnya sembari mengulurkan
tangannya.
“Syarifudin” timpalnya membalas jabatan
tangan.
“Sekarang cari kerja susah ya Ndah kalau
tidak punya orang dalam” keluhnya.
“Iya ini. Katanya besok tanggal 17-18
Juli ada tes CPNS ya?” Kamu mau ikut?
“Ah..malas lah Ndah, aku sudah ikut 2x
tidak pernah lolos. Jangan pernah berharap kamu bakal lolos jika tidak punya
orang dalam” ujarnya sembari merasa pesimistis.
Aku hanya diam. Lebih tepatnya bingung.
Aku hendak bertanya kenapa tiba-tiba serasa berat seperti ada yang menyumbat
pita suaraku. Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Aku punya teman yang baru satu kali
ikut tes CPNS, langsung diterima. Kau tahu kenapa? Karena pada tahap finishing,
ada beberapa oknum yang berusaha meloloskannya padahal ada yang jauh lebih
layak daripada dia” penuturannya lebih lanjut.
Aku terdiam membisu. Sebenarnya masih
banyak kemelut pertanyaan yang belum aku utarakan. Namun, waktu gegas berlalu
menuju senja. Akhirnya, kusudahi percakapan ini dan pulang.
Malam
harinya aku kembali merenungkan betapa lucunya Republik Dormogati ini. Memang
benar sih aku juga menangkap kegelisahan seperti itu. Aku juga punya teman yang
bekerja di KAI karena Kakaknya yang menolong. Ada juga yang bekerja di DPU karena
bapaknya yang memasukkan. Ada pula yang menyuap setelah itu baru bisa diangkat
sebagai PNS. Sebenarnya masih banyak lagi. Kalau sudah seperti ini siapa yang
salah? Bukankah benar manusia terkadang menghitam seperti kopi jika bertindak
demikian? Dan aku tak bisa melalui jalan mudah seperti mereka karena jalanku
teramat sulit. Berangkat dari kegelisahan tersebut, mari bersama-sama kita
renungkan. Memang desah nafas kita tidaklah sama dan pengahayatan kita terhadap
hidup dan kehidupan toh juga berbeda. Namun, pada hakikatnya apakah cara
seperti itu dibenarkan? Lantas apakah arti sebuah perjuangan dan kerja keras?
Yang kutahu, Tuhan akan membalas kerja keras hambanya dengan sempurna meskipun
usaha tersebut hanya sebesar buah sawi.
No comments:
Post a Comment