Thursday, May 17, 2018

Nafas Perenungan





Nafas Perenungan
Karya : Beni Purna I, S. Pd.

Aku terhanyut oleh kesibukan. Kesibukan membuatku tak punya waktu lagi untuk bercumbu dengan pena. Aku lupa kapan penaku terakhir menari. Yang ku tahu kini penaku mulai usang dan tumpul untuk menulis kembali. Namun, sejauh ini aku melangkah, aku ingin mengasah kembali penaku. Bercerita tentang hitam putihnya kehidupan. Seperti kata almarhum Giwangkara, “kita terkadang menghitam seperti kopi”. Berangkat dari kegelisahan tersebut, aku ingin supaya tulisanku mampu menggerakan hati pembaca untuk selalu ingat bahwa apa yang dihadirkan dalam kehidupan manusia adalah kehendak-Nya.

Termasuk perjalanan panjangku selama 4 tahun silam demi selembar ijazah. Aku bisa saja memilih jalan yang mudah, tetapi itu tidak akan mengajariku arti sebuah perjuangan. Dan lebih ironis aku tidak akan pernah bertemu dengan dosen sastra yang sangat kusegani. Meskipun aku perempuan, aku berani memilih dosen pembimbing skripsi tersebut, tidak seperti kawan-kawanku yang lain. Yang katanya, “susah jika bimbingan dengan beliau sering revisi atau alasan malas lainnya”. Pertemuan kami yang singkat menyisakan kesan yang membekas dengan Bapak Moh. Fakhrudin yang selalu membimbing kami secara utuh, tulus, dan ikhlas. Tiba-tiba ada nasihat terngiang di dalam lubuk sanubari.

“Selamat kepada kalian yang telah berhasil menjadi sarjana. Ada yang sudah mengajar?” tanya Beliau kepada kami. Suasana hening beberapa saat. Lalu kami saling menatap satu sama lain sembari menggelengkan kepala dan menjawab belum secara serempak. Senyum lebar menghiasi pipi kami. “Saya berharap semoga ada yang menjadi guru. Masa iya Anda kuliah di FKIP tidak ada yang menjadi guru. Dan semoga ilmu yang kalian dapatkan dari kampus dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari” tambahnya penuh petuah.

Aku mencoba meresapi kata-kata terakhir Beliau. Aku mulai belajar menulis lagi sekalipun tulisanku masih tetap saja jelek. Ada masa ketika Tuhan akan mengabulkan doaku dan memberikan ruh terhadap hasil karya ciptaku. Bukankah Bapak Ahmad Tohari, Ibu Asma Nadia, Pak Junaedi, Pak Djee, Pak Soekoso dan beberapa sastrawan lainnya pernah sepertiku juga? Aku mencoba memotivasi diriku berharap ada percikan api yang berkobar mampu membakar semangat, mengusir rasa malas yang terkadang mengakar kuat dalam relung hati. Hatiku berdesir. “Jika Tuhan mengabulkan doaku, aku ingin sekali mendatangi tokoh-tokoh penting yang sedikit banyak mengubah hidupku” gumamku dalam hati.

Malam hari ini di tempat biasa aku duduk sembari melamun. Aku sering mengisi waktu istirahat usai latihan dengan duduk melamun bersandaar di kusen jendela. Pikiranku mengembara ketika awal bergabung dengan anak-anak teater. Sebenarnya aku dilarang sih oleh orang tua ikut UKM Teater karena sering kegiatan malam apalagi aku perempuan. Dan pastinya orang tuaku sangatlah khawatir. Namun, aku meyakinkan orang tuaku bahwa aku bisa jaga diri dan berproduktif menghasilkan karya.

Aku menengadah. Kupejamkan mata dan kunikmati belaian angin malam yang menenangkan qolbu. Desah nafasku memburu arti kehidupan. Aku sering merenungkan rentetan kejadian yang Tuhan hadirkan dalam kehidupanku. Sekalipun itu pahit, aku berusaha belajar dari pahitnya kehidupan. Kubuka mataku perlahan-lahan dan kularikan pandangan ke bawah penuh hilir mudik kendaraan. Daun-daun yang menari tertiup angin tak luput dari sergapanku. Lalu ku alihkan mata ku menatap angkasa. Aku terpukau melilat bintang gemintang yang berkilau indah. Namun, di antara bintang tersebut ada satu yang paling berkilau. Tiba-tiba ada semangat yang menyelinap untuk membuktikan bahwa aku harus dapat bersinar terang seperti bintang tersebut.


Esok harinya aku kian semangat mencari pekerjaan lagi. “Tak usah risaukan pekerjaan yang telah menolakmu. Jangan menunggu kesempatan, tetapi jemputlah kesempatan itu” kata temanku memberikan dukungan. Sebenarnya ada sih niat menjadi guru, tetapi sedang aku renungkan karena beberapa hal. Jadi, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Memang akan sulit karena akreditasi progdi C. Dan itu tidak membuatku patah semangat. “Ini bukan persoalan akreditasi. Akreditasi progdi mau C atau entah apa pun itu kalian tidak perlu risau. Ini tentang sejauh mana kalian mau belajar dan mengaktualisasikan ilmu yang kalian dapat dari kampus” ujar Bu Suci dosen muda yang penuh perhatian kepada semua mahasiswanya. Aku senang bila bertemu dengannya karena bisa berbagi luka dan membuatku merasa lebih baik.

Terakhir ku dapati pesan singkat menyapa yang berbunyi, “Selamat Anda kami terima, silakan datang ke kantor kami guna melakukan interview dan wawancara. Segala keperluan administrasi pemberangkatan ke kantor kami yang terletak di Bekasi akan ditanggung oleh kami” kurang lebih seperti itu informasinya. Namun, tiba-tiba aku teringat pesan Ibu yang menyuruhku untuk bekerja di daerah sekitar sini saja. Kembali aku renungkan dan memutuskan untuk tidak jadi mengambil job tersebut.

Memang Tuhan tidak menjelaskan akan jadi apa aku nantinya. Aku pun percaya bahwa rezeki sudah ada yang mengatur. Bukankah ini sudah tercatat dalam lauh mahfudz? Aku hanya bisa berusaha dan berdoa. Aku pun juga sudah memasukkan lamaran pekerjaanku ke beberapa instansi pemerintah mulai dari pengadilan agama, HRD mall, pegadaian, bank, toyota motor, astra motor dan job fair aku datangi demi mencari sesuap nasi. Aku tak ingin merepotkan orang tua lebih jauh lagi. Bahkan, aku menolak melanjutkan kuliah S2 karena aku ingin melanjutkannya tetapi menggunakan uang keringat sendiri.

Aku rasa itu jauh lebih estetis dan aku juga ingin menunjukkan bahwa aku ini wanita hebat. Aku sudah tak tega melihat peluh yang membasahi tubuh mungil Ibu, hatiku melolong melihat Bapak beradu dengan sengatan matahari, hatiku luluh tersentuh perjuangan Kakak dari pagi sampai dengan malam. Itu semua demi aku. Jadi, aku harus meradang melawan keterbatasan. “Kali ini aku yang jadi pemeran utama, Bapak, Ibu, dan Kakak cukup jadi pendukungku” ungkapku penuh semangat menggebu-gebu.

Ku ambil hpku untuk berkirim kabar kepada yang tercinta.
“Sayang tanggal 2 dan 3 Maret selo nggak?” tanyaku membuka percakapan.
“Aku tanggal 3 Maret nggak bisa Sayang” timpalnya.
“Kalau tanggal 2 bisa menemani aku?” pintaku penuh harap.
“Ke mana Sayang?” tanyanya.
“Ke acara job fair Sayang. Memang Sayang tanggal 3 mau ngapain ta?”
“Iya deh besok Sayang aku temenin, aku tanggal 3 ikut seminar jurnalistik”

Aku sangat bersyukur mempunyai pacar yang menghayati kehidupan. Kebetulan saja aku dan dia sama-sama menyukai sastra karena sastra mengajarkan kami untuk memanusiakan manusia, mendewasakan diri, mengolah kepekaan, dan mengubah dari yang gelap menuju terang. Dari sastra pula lah aku menjadi dekat dengannya dan bersemi bunga dalam lubuk sanubari. Kami berusaha menjaga bunga ini agar tetap tumbuh harum mewangi. Bagiku dia itu laksana bunga yang indah. Aku berdoa dari hati yang terdalam semoga dia bisa jadi imam baik di dunia maupun di akhirat.

Hari Senin, 2 Maret 2015 aku bersama pacarku mengunjungi job fair yang diadakan Pemkab setempat di kampus IAINU. Kami ke sana setelah ba’da zuhur. Sesampai di sana, ternyata lautan manusia sudah menyesaki ruang audit penuh antusias mencari pekerjaan. Dan setelah mondar-mandir ke sana ke sini, akhirnya aku menyerahkan berkas lamaran ke beberapa pekerjaan. Ada pula yang awalnya sahabat, di ruang inilah memaksa kami untuk saling menjadi lawan.

Tuhan begitu piawai menghadirkan unsur kemenarikan alur, salah satunya adalah surprise. Aku terkejut ketika ada sumber suara yang membekas ditelinga. Ku tengok ke samping kanan dan kiri, tidak ada siapa-siapa. Bahkan hal itu membuat pacarku bingung dengan sikapku. “Sayang, sedang cari siapa?” tanyanya penuh heran. “Tidak Sayang, tadi aku merasa seperti ada yang memanggilku” jawabku. Tiba-tiba ada tangan menjamah pundakku dari belakang. Aku kaget ternyata dia adalah Syarifudin, teman sewaktu SMA.
“Indah ya” sapanya sembari tersenyum
Aku hanya berusaha membalasnya dengan senyuman.
“Lagi cari pekerjaan juga ya Ndah?” tanya Udin memulai percakapan.
“Iya ini. Bagaimana kabarnya?” tanyaku basa-basi.
“Alhamdulillah baik Ndah, sama siapa?” tanyanya sembari matanya tertuju kepada seseorang di sampingku.
“Oh iya Din, ini kenalin Beni” sahutku memperkenalkannya.
“Beni” ucapnya sembari mengulurkan tangannya.
“Syarifudin” timpalnya membalas jabatan tangan.
“Sekarang cari kerja susah ya Ndah kalau tidak punya orang dalam” keluhnya.
“Iya ini. Katanya besok tanggal 17-18 Juli ada tes CPNS ya?” Kamu mau ikut?
“Ah..malas lah Ndah, aku sudah ikut 2x tidak pernah lolos. Jangan pernah berharap kamu bakal lolos jika tidak punya orang dalam” ujarnya sembari merasa pesimistis.
Aku hanya diam. Lebih tepatnya bingung. Aku hendak bertanya kenapa tiba-tiba serasa berat seperti ada yang menyumbat pita suaraku. Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Aku punya teman yang baru satu kali ikut tes CPNS, langsung diterima. Kau tahu kenapa? Karena pada tahap finishing, ada beberapa oknum yang berusaha meloloskannya padahal ada yang jauh lebih layak daripada dia” penuturannya lebih lanjut.
Aku terdiam membisu. Sebenarnya masih banyak kemelut pertanyaan yang belum aku utarakan. Namun, waktu gegas berlalu menuju senja. Akhirnya, kusudahi percakapan ini dan pulang.
Malam harinya aku kembali merenungkan betapa lucunya Republik Dormogati ini. Memang benar sih aku juga menangkap kegelisahan seperti itu. Aku juga punya teman yang bekerja di KAI karena Kakaknya yang menolong. Ada juga yang bekerja di DPU karena bapaknya yang memasukkan. Ada pula yang menyuap setelah itu baru bisa diangkat sebagai PNS. Sebenarnya masih banyak lagi. Kalau sudah seperti ini siapa yang salah? Bukankah benar manusia terkadang menghitam seperti kopi jika bertindak demikian? Dan aku tak bisa melalui jalan mudah seperti mereka karena jalanku teramat sulit. Berangkat dari kegelisahan tersebut, mari bersama-sama kita renungkan. Memang desah nafas kita tidaklah sama dan pengahayatan kita terhadap hidup dan kehidupan toh juga berbeda. Namun, pada hakikatnya apakah cara seperti itu dibenarkan? Lantas apakah arti sebuah perjuangan dan kerja keras? Yang kutahu, Tuhan akan membalas kerja keras hambanya dengan sempurna meskipun usaha tersebut hanya sebesar buah sawi.

No comments:

Post a Comment