Wednesday, May 16, 2018

Ibuku Pahlawanku




Ibuku Pahlawanku
Karya  : Beni Purna I, S. Pd. 


Slamet hidup hanya dengan ibunya, Halimah. Mereka tinggal di pelosok desa yang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Ibunya hanya bekerja sebagai kuli di pabrik genteng mobat-mabit. Ya seperti namanya, mereka yang bekerja di situ mobat-mabit membuat genteng hingga keringat mengucur deras dari badan mereka. Terkadang nafas Halimah sampai tersengal-sengal demi mencari sesuap nasi.

Demi anak semata wayangnya yang membuat Halimah tetap semangat dan tegar menjalani kehidupan walau tanpa suami di sisinya. “Aku sangat sayang anakku” itulah kata yang selalu mengalun indah dalam jiwanya yang mampu menghipnotis dirinya tidak kenal lelah melawan kehidupan yang keras.

Suaminya pergi meninggalkannya ketika Slamet masih dalam kandungan. Fajar, suaminya pergi dan menikah lagi dengan pilihan orang tuanya. Ya, orang tua Slamet menikah untuk mengusir rasa malu. Mereka adalah pasangan yang saling berkasih sayang. Akan tetapi orang tua Fajar tidak setuju jika putranya menikah dengan Halimah. Gadis desa yang miskin dan tidak sederajat itu.
“Jika kau bersikeras tetap tinggal serumah dengan perempuan itu, kau bukan lagi anakku! Camkan itu” bentak ayahnya sembari melotot.
 
Seperti kebanyakan remaja yang sedang kasmaran, mereka sangat saling mencintai. Berciuman, berpelukan, bermesraan bagi mereka adalah hal biasa. Apalagi hal itu dilakukan di tempat umum. Iya, mungkin memang benar jika orang sedang mengadu asmara sudah tidak punya lagi muka. Dunia serasa seperti milik mereka berdua. Hal itu kerap dilakukan mereka setiap bertemu.
“Aku sangat mencintaimu Halimah” ungkap Fajar penuh mesrah
“Aku juga begitu” balasnya sambil tersenyum manis


Selanjutnya mereka saling berciuman sambil berpelukan.
Perjalanan cinta mereka tidaklah mulus, banyak kerikil dan batu besar menghadang. Seperti yang terjadi pada Halimah. Karena kecantikan yang di pancarkan Halimah mampu membuat orang lain terpesona. Ia seperti bunga yang tumbuh harum mewangi yang membuat banyak pemuda ingin memetiknya.

Dari desas-desus yang beredar, Halimah dibuang oleh orang tuanya yang tidak menginginkan kehadirannya. Karena merasa iba, Rosiana mengangkatnya menjadi anak setelah dirinya di tinggal pergi suaminya yang mengatakan “Dasar Mandul”. Sedih memang walau hanya dua kata yang keluar dari bibir indah suaminya tetapi menyisakan luka yang teramat dalam di hati Rosiana. 

Malam minggu oleh kebanyakan remaja menyebutnya wakuncar. Waktu kunjung pacar. Fajar pun datang ke rumah Halimah. Ibu Rosiana sudah akrab dengan Fajar yang sering berkunjung dan mempersilahkannya masuk. Mereka berbincang-bincang banyak hal. Mereka sangat senang. Entah apa yang mereka bicarakan lagi.

Tidak terasa hari sudah sangat malam. Ibu Rosiana pun sudah terlelap tidur. Mereka sudah berapa kali melakukan berciuman. Tidak terhitung. Hingga akhirnya setan mengajak mereka untuk melakukan lebih dari itu. Mereka lalu bercumbu dalam keheningan malam.
“Ayo Mas lakukan saja! Malam ini aku sepenuhnya milikmu”
Hanya desah yang memaksa ranjang ikut bersuara. 

Selanjutnya apa yang terjadi? Ya benar Halimah hamil. Halimah bingung dan ingin lari. Begitu pun juga Fajar. Ia ingin lari sejauh mungkin. Namun, Tuhan melarang. Begitu pun juga orang tua Fajar yang sangat melarangnya. Orang tua Fajar sangat malu dan meminta mereka untuk menikah hanya untuk sekadar menutupi rasa malu yang mendera. 

Namun, hanya sebatas pernikahan saja yang hanya bertahan beberapa bulan karena Fajar akan segera dinikahkan dengan pilihan orang tuanya. Fajar sedih dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia terpaksa meninggalkan Halimah jika ia masih ingin diakui sebagai anaknya.  

Akibat peristiwa tersebut, membuat Halimah menjadi wanita yang kuat. Setiap hari Halimah menggenjot sepedanya dengan jarak yang cukup jauh. Sekitar 4 km jarak dari rumah ke tempat kerjanya, sedangkan Slamet masih kelas V SD. Malaikat kecil itu yang sampai saat ini membuatnya tetap semangat menjalani hidup. Walaupun hidupnya harus gali lubang tutup lubang baginya tidak masalah asal bisa membahagiakan buah hatinya. Ia terkadang masih bekerja yang lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Ya, memang malaikat kecil itu bernama Slamet. Apa lantas dengan nama itu ia selalu selamat? Pernah waktu itu ia kejatuhan cicak. Menurut anggapan orang banyak, kejatuhan cicak pertanda akan datangnya bahaya atau cilaka. Ketika itu ia dan kawannya hendak pergi ke pasar tumenggungan, ia lalu menghampiri temannya yang telah menunggu. Saat di rumah temannya, ia kaget sambil berteriak keras ketika ada cicak jatuh tepat di atas kepalanya. 
“Hati-hati loh Met kalau ada cicak jatuh” kata temannya

Slamet tidak menggubrisnya lalu mereka berdua pergi dengan mengayuh sepedanya masing-masing. Ya jaraknya cukup jauh, sekitar 7 km. Meskipun jauh akan tetapi mereka sangat senang ketika telah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ya ikan mas koki yang konon katanya membawa hoki. Seolah-olah rasa lelah pun sirna.
Namun kau tahu apa yang terjadi ketika pulang? Hari itu sangatlah mendung. Slamet berjanji kepada ibunya untuk tidak hujan-hujanan. Karena takut akan segera turun hujan, ia pun mengayuh sepedanya dengan sangat cepat hingga temannya tertinggal jauh. Ketika di persimpangan jalan, ia bingung ketika melihat lampu paling atas berwarna kuning. Yang ia tahu lampu paling atas itu seharusnya berwarna merah. Ia pun tetap gegas mengayuh, tiba-tiba dari arah timur mobil melaju dan menghantamnya.
Ia pun terjatuh dan di tolong oleh banyak orang. Anehnya ia tidak apa-apa. Ia masih bisa berdiri meskipun sempoyongan. Hanya memar dan lecet saja pada bagian tubuhnya. Tangannya merasa sakit. Tapi nasib naas menimpa ikan mas kokinya. Ikan mas koki yang baru di belinya tewas seketika tertindas ban depan mobil. Tidak berapa lama hujan turun. “Itu lampu memakan korban jiwa lagi, seharusnya lampu itu diganti karena warnanya yang sudah pudar” ujar kata salah satu warga yang tinggal tidak jauh dari lokasi. Ia lalu mengayuh sepedanya kembali dengan sangat pelan. “pasti sama Ibu aku kena marah” bisiknya dalam hati.
Ibunya sangat khawatir karena sampai sore Slamet belum juga pulang. Padahal sore itu hujan begitu deras. Dari kejauhan tampak slamet dengan pakaian basah kuyup dan lelah yang menghujam. Walaupun setang sepedanya bengkok tetapi ia dapat sampai rumah. Halimah sedikit lega karena anak kesayangannya sudah pulang. Halimah kaget ketika melihat Slamet badannya memar dan lecet-lecet.
“Ya Allah kamu kenapa Slamet? Kau abis berkelahi ya?”
“Tidak Ibu”
“lalu kenapa?”
“Anu Bu, tadi aku cuman terjatuh dari sepeda. Tapi tidak apa-apa kok Bu

Malam harinya, dengan penuh kasih sayang ibunya mengobati Slamet. Ia membalut luka pada kaki, tangan dan dahinya. Ibunya memijat pada bagian tangan yang terkilir. “Kalau besok masih terasa sakit, kita pergi ke tukang pijet saja ya” begitu kata ibunya.
“Bu, apakah tangan Ayah pernah terkilir seperti ini?”
“Tidak, tidak sampai terkilir”
“Ayah sedang apa ya Bu sekarang?”
“Pastinya sedang bahagia di surga”
“Seperti apa Ayahku Bu? 
“Kamu sangat mirip dengan Ayah kamu, Nah sekarang tidur ya biar besok tidak terlambat ke sekolahnya!”

Ibunya pun berlalu sambil terisak. Ia merasa bersalah karena dulu telah berbohong kepada Slamet tentang ayahnya yang sudah meninggal. Sering kali Slamet mendapati ibunya sering menangis. Ia menjadi teringat ketika dirinya tidak menuruti perintah Ibunya. Padahal ia sudah diingatkan untuk memakai sepatu hitam, tetapi Slamet membangkang.
“Slamet, loh kok kamu memakai sepatu putih. Apa tidak sebaiknya kamu memakai sepatu hitammu saja” ujar ibunya menasihati
“Biarin lah Bu, lagian sepatu ini juga bagus kok” kata Slamet
Apa yang di khawatirkan ibunya terjadi. Slamet pulang tanpa memakai sepatu karena sepatunya di sita oleh Ibu guru. Akhirnya ibunya datang ke sekolah untuk mengambil sepatu tersebut. 

Matahari pagi telah keluar dari peraduannya. Nyanyian burung membangunkan Slamet dari tidurnya. Tangannya sudah terasa tidak sakit. Sarapan kali ini begitu berbeda. Biasanya hanya dengan sambal tempe sekarang ada makanan kesukaan Slamet yaitu ayam goreng.
“Bu, Aku minta maaf ya karena sering berbohong. Sebenarnya kemarin itu aku pergi ke pasar tumenggungan Bu!”
“Iya sudah tidak apa-apa, ini tambah lagi biar kamu cepat besar. Lain kali jangan bohong lagi ya sama Ibu, kamu harus seperti Ayah kamu yang baik”
“Iya Bu, Aku janji”
Slamet lalu berangkat ke Sekolah dengan jalan kaki karena sepedanya belum diperbaiki.
“Ya sudah biar Ibu nanti bawa ke bengkel sajakata ibunya

Sejak itulah Slamet ingin menjadi anak yang baik seperti ayahnya. Dia tidak ingin lagi mencuri mangga dan rambutan milik tetangganya. Ia juga ingin meninggalkan kebiasaan lamanya yaitu sering mencontek, sering berkelahi, sering main, usil, nakal dan jika ia hendak pergi, ia selalu izin dulu kepada ibunya dengan jujur. Ia pun sekarang selalu mendengarkan nasihat ibunya.
“Aku harus bisa seperti Ibu” bisiknya dalam hati

Saat pelajaran Bahasa Indonesia, Bu Herni menyuruh semua siswa untuk belajar mengarang. Beliau menunjuk beberapa anak untuk menyebutkan judul apa yang akan mereka gunakan untuk mengarang. Sampailah pada giliran Slamet.
“Slamet kamu mau mengarang apa? tanya Ibu guru
“Ibuku Pahlawanku, Bu” Jawabnya penuh bangga

No comments:

Post a Comment