Ibuku Pahlawanku
Karya :
Beni Purna I, S. Pd.
Slamet
hidup hanya dengan ibunya,
Halimah. Mereka tinggal di pelosok desa yang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Ibunya hanya bekerja
sebagai kuli di pabrik genteng mobat-mabit. Ya seperti namanya, mereka yang bekerja
di situ mobat-mabit membuat genteng hingga keringat mengucur deras dari badan
mereka. Terkadang nafas Halimah
sampai tersengal-sengal demi mencari sesuap nasi.
Demi
anak semata wayangnya yang membuat Halimah tetap semangat dan tegar menjalani kehidupan
walau tanpa suami di sisinya. “Aku sangat sayang anakku” itulah kata yang
selalu mengalun indah dalam jiwanya yang mampu menghipnotis dirinya tidak kenal lelah melawan
kehidupan yang keras.
Suaminya
pergi meninggalkannya ketika Slamet masih dalam kandungan. Fajar, suaminya pergi
dan menikah lagi dengan pilihan orang tuanya. Ya, orang tua Slamet menikah untuk mengusir
rasa malu. Mereka adalah pasangan yang saling berkasih sayang. Akan tetapi
orang tua Fajar tidak
setuju jika putranya menikah dengan Halimah. Gadis desa yang miskin dan tidak
sederajat itu.
“Jika
kau bersikeras tetap tinggal serumah dengan perempuan itu, kau bukan lagi
anakku! Camkan itu” bentak
ayahnya sembari melotot.
Seperti
kebanyakan remaja yang sedang kasmaran, mereka sangat saling mencintai.
Berciuman, berpelukan, bermesraan bagi mereka adalah hal biasa. Apalagi hal itu
dilakukan di tempat umum. Iya, mungkin memang benar jika orang sedang mengadu
asmara sudah tidak
punya lagi muka. Dunia serasa seperti milik mereka berdua. Hal itu kerap
dilakukan mereka setiap bertemu.
“Aku
sangat mencintaimu Halimah” ungkap Fajar
penuh mesrah
“Aku
juga begitu” balasnya
sambil tersenyum manis
Selanjutnya
mereka saling berciuman sambil berpelukan.
Perjalanan
cinta mereka tidaklah mulus, banyak kerikil dan batu besar menghadang. Seperti
yang terjadi pada Halimah. Karena kecantikan yang di pancarkan Halimah mampu
membuat orang lain terpesona. Ia seperti bunga yang tumbuh harum mewangi yang
membuat banyak pemuda ingin memetiknya.
Dari
desas-desus yang beredar, Halimah dibuang oleh orang tuanya yang tidak menginginkan
kehadirannya. Karena merasa iba, Rosiana mengangkatnya menjadi anak setelah
dirinya di tinggal pergi suaminya yang mengatakan “Dasar Mandul”. Sedih memang
walau hanya dua kata yang keluar dari bibir indah suaminya tetapi menyisakan luka yang teramat dalam di hati Rosiana.
Malam
minggu oleh kebanyakan remaja menyebutnya wakuncar. Waktu kunjung pacar. Fajar
pun datang ke rumah Halimah. Ibu Rosiana sudah akrab dengan Fajar yang sering
berkunjung dan mempersilahkannya masuk. Mereka berbincang-bincang banyak hal. Mereka sangat senang.
Entah apa yang mereka bicarakan lagi.
Tidak terasa hari sudah
sangat malam. Ibu Rosiana pun sudah terlelap tidur. Mereka sudah berapa kali
melakukan berciuman. Tidak
terhitung. Hingga akhirnya setan mengajak mereka untuk melakukan lebih dari
itu. Mereka lalu bercumbu dalam keheningan
malam.
“Ayo
Mas lakukan saja!
Malam ini aku sepenuhnya milikmu”
Hanya
desah yang memaksa ranjang ikut bersuara.
Selanjutnya
apa yang terjadi? Ya benar Halimah hamil. Halimah bingung dan ingin lari.
Begitu pun
juga Fajar. Ia ingin lari sejauh mungkin. Namun, Tuhan melarang. Begitu pun juga orang tua
Fajar yang sangat melarangnya. Orang tua Fajar sangat malu dan meminta mereka
untuk menikah hanya untuk sekadar
menutupi rasa malu yang mendera.
Namun, hanya sebatas
pernikahan saja yang hanya bertahan beberapa
bulan karena Fajar akan segera dinikahkan dengan pilihan orang tuanya. Fajar
sedih dan tidak
tahu harus berbuat apa. Ia terpaksa meninggalkan Halimah jika ia masih ingin diakui
sebagai anaknya.
Akibat peristiwa tersebut, membuat Halimah menjadi wanita
yang kuat. Setiap hari Halimah menggenjot sepedanya
dengan jarak yang cukup
jauh. Sekitar 4
km jarak dari rumah ke tempat kerjanya,
sedangkan Slamet masih kelas V SD. Malaikat kecil itu yang sampai saat ini
membuatnya tetap semangat menjalani hidup. Walaupun hidupnya harus gali lubang
tutup lubang baginya tidak
masalah asal bisa membahagiakan buah hatinya. Ia terkadang masih bekerja yang
lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Ya,
memang malaikat kecil itu bernama Slamet. Apa lantas dengan nama itu ia selalu
selamat? Pernah waktu itu ia kejatuhan cicak. Menurut anggapan orang banyak,
kejatuhan cicak pertanda akan datangnya bahaya atau cilaka. Ketika itu ia dan
kawannya hendak pergi ke pasar tumenggungan, ia lalu menghampiri temannya yang
telah menunggu. Saat di rumah temannya, ia kaget sambil berteriak keras ketika
ada cicak jatuh tepat di atas kepalanya.
“Hati-hati
loh Met kalau ada cicak
jatuh” kata temannya
Slamet tidak
menggubrisnya lalu mereka berdua pergi dengan mengayuh sepedanya masing-masing. Ya jaraknya
cukup jauh, sekitar 7 km. Meskipun jauh akan tetapi mereka sangat senang ketika
telah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ya ikan mas koki yang konon katanya membawa hoki. Seolah-olah
rasa lelah pun sirna.
Namun kau tahu apa yang terjadi ketika pulang? Hari
itu sangatlah mendung. Slamet berjanji kepada ibunya untuk tidak hujan-hujanan.
Karena takut akan segera turun hujan, ia pun mengayuh sepedanya dengan
sangat cepat hingga temannya tertinggal jauh. Ketika di persimpangan jalan, ia
bingung ketika melihat lampu paling atas berwarna kuning. Yang
ia tahu lampu paling atas itu seharusnya berwarna
merah. Ia pun tetap gegas mengayuh,
tiba-tiba dari arah timur mobil melaju dan
menghantamnya.
Ia pun terjatuh dan di tolong oleh banyak orang.
Anehnya ia tidak apa-apa. Ia masih bisa berdiri meskipun sempoyongan. Hanya
memar dan lecet saja pada bagian tubuhnya. Tangannya merasa sakit. Tapi nasib
naas menimpa ikan mas kokinya. Ikan mas koki yang baru di belinya tewas seketika
tertindas ban depan mobil. Tidak
berapa lama hujan turun. “Itu lampu memakan korban jiwa lagi,
seharusnya lampu itu diganti karena warnanya yang sudah pudar” ujar kata salah satu warga yang tinggal
tidak jauh dari lokasi. Ia
lalu mengayuh
sepedanya kembali dengan sangat pelan. “pasti
sama Ibu aku kena marah” bisiknya dalam hati.
Ibunya
sangat khawatir karena sampai sore Slamet belum juga pulang. Padahal sore itu
hujan begitu deras. Dari kejauhan tampak slamet dengan pakaian basah kuyup dan lelah yang menghujam.
Walaupun setang sepedanya bengkok tetapi
ia dapat sampai rumah. Halimah sedikit lega karena anak kesayangannya sudah
pulang. Halimah kaget ketika melihat Slamet badannya memar dan lecet-lecet.
“Ya
Allah kamu kenapa Slamet?
Kau abis berkelahi ya?”
“Tidak
Ibu”
“lalu
kenapa?”
“Anu
Bu, tadi aku cuman terjatuh dari sepeda. Tapi tidak apa-apa kok Bu”
Malam
harinya, dengan penuh kasih sayang ibunya
mengobati Slamet. Ia membalut luka pada kaki, tangan dan dahinya. Ibunya
memijat pada bagian tangan yang terkilir. “Kalau besok masih terasa sakit, kita
pergi ke tukang pijet saja ya” begitu kata ibunya.
“Bu,
apakah tangan Ayah pernah terkilir seperti ini?”
“Tidak,
tidak sampai terkilir”
“Ayah
sedang apa ya Bu sekarang?”
“Pastinya
sedang bahagia di surga”
“Seperti
apa Ayahku Bu?
“Kamu
sangat mirip dengan Ayah kamu, Nah sekarang tidur ya biar besok tidak terlambat ke sekolahnya!”
Ibunya
pun berlalu sambil terisak. Ia merasa bersalah karena dulu telah berbohong
kepada Slamet tentang ayahnya yang sudah meninggal. Sering kali Slamet
mendapati ibunya sering menangis. Ia menjadi teringat ketika dirinya tidak
menuruti perintah Ibunya. Padahal ia sudah
diingatkan untuk memakai sepatu hitam, tetapi Slamet membangkang.
“Slamet,
loh kok kamu memakai
sepatu putih. Apa tidak sebaiknya kamu memakai sepatu hitammu saja” ujar ibunya menasihati
“Biarin
lah Bu, lagian sepatu ini juga bagus kok” kata
Slamet
Apa
yang di khawatirkan ibunya terjadi. Slamet pulang tanpa memakai sepatu karena
sepatunya di sita oleh Ibu
guru. Akhirnya ibunya datang ke sekolah untuk mengambil sepatu tersebut.
Matahari
pagi telah keluar dari peraduannya. Nyanyian burung membangunkan Slamet dari
tidurnya. Tangannya sudah terasa tidak sakit. Sarapan kali ini begitu berbeda.
Biasanya hanya dengan sambal tempe sekarang ada makanan kesukaan Slamet yaitu
ayam goreng.
“Bu,
Aku minta maaf ya karena sering berbohong. Sebenarnya kemarin itu aku pergi ke
pasar tumenggungan Bu!”
“Iya
sudah tidak apa-apa, ini tambah lagi biar kamu cepat besar. Lain kali jangan
bohong lagi ya sama Ibu, kamu harus seperti Ayah kamu yang baik”
“Iya
Bu, Aku janji”
Slamet
lalu berangkat ke Sekolah dengan jalan kaki karena sepedanya belum diperbaiki.
“Ya
sudah biar Ibu
nanti bawa ke bengkel saja”
kata ibunya
Sejak
itulah Slamet ingin menjadi anak yang baik seperti ayahnya. Dia tidak ingin lagi mencuri
mangga dan rambutan milik tetangganya. Ia juga ingin meninggalkan kebiasaan
lamanya yaitu sering mencontek, sering berkelahi, sering main, usil, nakal dan
jika ia hendak pergi, ia selalu izin dulu
kepada ibunya dengan jujur. Ia pun sekarang selalu
mendengarkan nasihat ibunya.
“Aku
harus bisa seperti Ibu” bisiknya
dalam hati
Saat
pelajaran Bahasa Indonesia, Bu Herni menyuruh semua siswa untuk belajar
mengarang. Beliau menunjuk beberapa anak untuk menyebutkan judul apa yang akan
mereka gunakan untuk mengarang. Sampailah pada giliran Slamet.
“Slamet
kamu mau mengarang apa? tanya
Ibu guru
“Ibuku
Pahlawanku, Bu” Jawabnya penuh bangga
No comments:
Post a Comment