Wednesday, May 16, 2018

Ibu, Aku Memang Berbeda






Ibu, Aku Memang Berbeda
Karya  : Beni Purna I, S. Pd.


Ya di sinilah Tuti melepas penat dari carut marut kehidupan yang tak bertepi. Selesai satu persoalan muncul lagi persoalan yang baru. Begitu seterusnya. Dari segala macam problema hidup maka Ia tuliskan sajak hidupnya yang teramat getir di atas kertas yang masih suci. Sampai masalah mengajarkannya untuk lebih arif dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah yang semrawut yang tak bisa lepas dari kehidupannya.
“Tut, kamu menangis?” tanya Amel sembari mendekatkan duduknya
“Tidak kok Mel” elak Tuti
“Jangan bohong, itu? Amel menunjuk air mata Tuti yang mulai menganak sungai
Tuti mencoba mengusap air matanya.
“Abis diledekin ya?” lanjut Amel
Tuti hanya mengangguk
“Diledekin kenapa?”
“Kata Rani, anak pengkor nggak boleh ikut main”
“Jahat banget sih Dia, ya sudah main bareng aku aja Tut”
Amel mecoba mengajaknya bermain dan bersenda gurau. Berharap bisa menghapus laranya.
“Tet ,,Tet,, Tet,, Tett!!! Bel sekolah memanggil-manggil siswa untuk masuk kelas
Ya ketika yang lain berlarian, menuju kelas masing-masing. Apa yang terjadi dengan Tuti? Ia pun mencoba berlari. Sekuat mungkin. Semampunya. Langkahnya terseok-seok. Alhasil Tuti terjatuh. Tapi Ia coba untuk bangkit lagi. Dengan kaki kanan yang diseret. Ia sampai kelas.
“Kasihan Tuti” kata temannya melihat dari balik jendela
Saat Ibu guru menanyakan tentang cita-cita. Sontak riuh gemuruh yang terdengar. Terbesit cita-cita apa yang cocok untuk dirinya. Tuti bingung. Ia tidak tahu. Saat tiba gilirannya.
“Tuti, cita-cita kamu kalau sudah besar mau jadi apa?” tanya bu Guru
“Tuti bingung Bu, Tuti tidak tahu” Jawabnya
“Kenapa tidak tahu?” Bu Guru kembali bertanya
“Iya Bu, Tuti pengin jadi dokter tapi kaki Tuti begini. Mana ada dokter yang kakinya begini” celetuk Tuti dengan polosnya.
Mungkin Tuti mencoba menekan perasaannya. Sontak seisi kelas menjadi menertawakannya.

Tuti memang tak seberuntung kalian sobat. Jika kalian masih mempunyai kaki untuk berjalan. Maka bersyukurlah kalian pada yang Kuasa. Sejak kecil kaki kanan Tuti memiliki ukuran lebih kecil dari kaki kirinya. Dengan kesabaran dan penuh kasih sayang orang tua Tuti mendidiknya. Dengan pit ontel, Ibunya biasa mengantar dan menjemput Tuti menimba ilmu. Ibu menjemput Tuti pulang ke rumah meskipun terik matahari, tak begitu dirasa oleh ibu yang sudah terbiasa bekerja di bawah terik matahari.
Sore harinya sekitar pukul setengah tiga, Tuti sedang duduk manis sembari melihat kawan-kawannya sedang bermain. Hanya melihat baginya membosankan, maka dia berniat untuk ikut bermain bersama mereka.
“Tam, aku boleh ikut main tidak?” pintanya penuh harap
“Bisa?” timpal Tami penuh keraguan
Tuti tidak yakin tetapi Ia ingin mencoba. Ia diam.
“Kalau tidak bisa, jangan ikut main lah. Nanti malah ganggu” celoteh Siti
“Lihat noh, kaki loe aja susah jalan apalagi buat melompat” ujar Novi pindahan dari Bekasi
Kalian tahu sobat bagaimana perasaan Tuti saat itu? Ia tak bisa membendung air matanya. Bulir air matanya memaksa untuk keluar. Semakin Ia melawan semakin sakit yang dirasakan. Hancur sudah hatinya. Semenjak itu pula Tuti menjadi minder, jarang keluar rumah, malu dengan teman-temannya. Sungguh Tuti bersyukur memiliki Ibu yang sangat peduli. Ibu yang selalu memberikan motivasi-motivasi yang membuat Tuti tegar.
Adzan ashar berkumandang, sejenak mencoba mendengarkan muazin yang menyanyikannya. Ibarat obat yang menyembuhkan penyakit. Adzan itu membuatnya hati Tuti damai, tenang, dari gejolak batin yang sangat luar biasa. Malaikatpun seolah-olah menyuruhnya untuk segera solat. Dengan kyushu. Karena dengan seperti itu, manusia akan lebih merasakan ketenangan bila dekat dengan-Nya dan semoga akan lebih bisa mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Bersyukur kata kuncinya.
“Ya Allah kenapa kaki Tuti seperti ini, sembuhkanlah kaki Tuti ya Allah agar Tuti bisa bermain seperti mereka. Semoga kaki Tuti cepat sembuh. Amin” Doa Tuti sekonyong-konyongnya sembari tersedu-sedu
Tak lama kemudian orang tuanya Tuti pulang. Mengais rezeki dari sampah dan pulang membawa sampah pula. Bagi mereka pekerjaan itu jauh lebih mulia dari pada orang yang mengambil hak yang bukan haknya. Ada yang salah di negeri semrawut ini. Orang yang jauh lebih mampu dibandingkan keluarga Tuti jutru mendapatkan BLT. Sedangkan kelurga Tuti tak pernah mendapatkannya. Ketika mereka, orang-orang yang mengambil hak yang bukan haknya dibilang orang miskin justru mereka tersinggung. Bukankah sejatinya BLT diperuntukkan untuk orang-orang tidak mampu?
Waktu gegas berlalu dan magrib pun kunjung datang. Seusai solat maghrib, Ibunya lalu makan. Sedari tadi sore belum makan, beberapa kali suara cacing dalam perutnya menuntut jatah makanannya. Tuti dengan langkah sempoyongan menghampiri ibunya. Tuti terjatuh. Melihat hal itu Ibunya menghentikan makannya dan menolong Tuti.
“Kamu tidak apa-apa nduk?” tanya ibunya penuh kecemasan
“Tidak apa-apa kok bu” elaknya sambil menahan perih
“Ya sudah jalannya pelan-pelan saja” kata Ibunya sembari menuntunnya
Setelah senyap beberapa saat. Ibunya menatap dalam-dalam permata hatinya. Ia harus kelihatan kuat meski hatinya ingin menangis melihat anaknya seperti itu. Ia tak ingin menunjukkan kesedihannya di hadapan Tuti.
“Bapak di mana Bu?” tanya tuti memecah kesenyapan
“Bapakmu lagi keluar sebentar nduk” jawab Ibunya
Suasana kembali senyap. Tuti menatap selasar sudut ruangan dengan tatapan kosong.
“Sudah makan belum nduk?” tanya Ibunya
Tuti hanya menggeleng
“Kok belum makan”? Sambung ibunya lagi
Keadaan kembali hening. Ibunya mencoba memahami apa yang terjadi dengan anaknya.
“Nduk, kamu baik-baik saja kan apa lagi tidak enak badan?” tanya Ibunya sembari khawatir
“Bu…tadi di sekolah Tuti dibilang anak pengkor sama Rani. Terus tadi siang Tuti juga diejek sama Tami, Siti dan Novi. Mereka bilang kalau Tuti tidak bisa jalan. Mengapa kaki kanan Tuti seperti ini Bu?” celoteh Tuti mengungkapnya sakit hatinya
Ibunya tak kuasa mendengar apa yang didengar dari anaknya. Matanya mulai berair. Mulai turun membentuk parit-parit di pipi kanan dan kirinya.
“Ibu kok menangis, kenapa?” tanya Tuti
“Nduk, kamu memang anak yang berbeda dari anak yang lainnya. Sejak lahir kamu sudah seperti itu. Ibu tidak tahu kenapa. Yang tahu hanya Allah Swt. Syukuri apa yang ada nduk karena Ibu yakin di balik ini semua pasti ada hikmahnya” urai Ibunya
“Iya Bu, ya sudah Ibu jangan sedih nanti Tuti jadi ikut sedih Bu” kata Tuti
“Iya nduk karena di balik kekurangan pasti ada kelebihan. Kelebihan yang ada dalam diri kamu. Ibu yakin itu” timpal Ibunya
“Tuti lelah bu, Tuti mau ke kamar dulu” ucap Tuti
Tuti kembali menuju kamarnya. Malam-malamnya selalu diisi dengan belajar, entah kenapa malam itu Ia tak bergairah belajar. Ia justru malah asik menulis. Tuti memang suka menulis. Dalam sela-sela waktunya Ia sempatkan menulis. Sebelum berangkat ke mimpinya Ia sempatkan menulis pula. Beberapa temannya tahu kalau Tuti suka menulis.  
Waktu itu sekolah mengadakan sayembara menulis cerita pendek untuk tingkat kecamatan Sruweng. Tuti ditunjuk oleh teman-temannya mewakili kelas 5 untuk ikut lomba tersebut. Teman-temannya tahu kalau Tuti suka menulis. Dengan didampingi oleh wali kelasnya, lusa besok Tuti berangkat ke gedung kesenian yang ada di kota tersebut.
“Bu, Tuti di tunjuk sama teman-teman Tuti untuk ikut lomba menulis cerpen?” ucap Tuti
“Wah itu bagus Nduk” timpal Ibunya sembari memuji
“Tapi Tuti tidak yakin Bu kalau Tuti bisa” sambung Tuti penuh keraguan
“ Harus yakin dong nduk, setahu Ibu kamu memang suka menulis toh. Jadi Ibu yakin kamu pasti bisa” ucapnya sembari memberikan siraman motivasi
“Iya Bu, Doakan Tuti ya Bu” pinta Tuti
“Iya nduk pasti Ibu doakan” jawab Ibunya
Lalu Tuti melangkah menuju kamarnya. Ia latihan menulis cerita-cerita. Sebelum tidur, Ia menyucikan dengan berwudhu. Menunaikan solat isya sembari berdoa pada Sang Kuasa.
Matahari pagi mulai menyoroti wajahnya yang imut itu. Suara merdu burung-burung mewarnai indahnya pagi itu. Tuti siap mengikut lomba menulis cerpen. Dengan semangat Tuti didampingi wali kelasnya berangkat menuju gedung kesenian. Di sana Tuti harus bersaing dengan temannya yang berasal dari sekolah yang berbeda-beda.
Setelah lomba selesai. Cerita pendek hasil goresan anak-anak diulas oleh juri-juri yang sudah mumpuni. Maka ditentukanlah juara 1,2 dan 3. Ketika sang juri mulai membacakannya hati Tuti berdebar-debar. Dibacakannya juara 3.
“Juara 3 lomba menulis cerpen adalah Sariati dari sekolah dasar negeri Sidoagung dengan cerpennya berjudul pelajaran mengarang”
Suara tepuk tangan memenuhi ruangan itu.
“Selanjutnya juara keduanya adalah Ahmad Fauzi dari sekolah dasar negeri Trikarso dengan cerpennya berjudul liburan”
Ahmad fauzi lalu maju sembari riuh gemuruh diberikan untuknya.
“Siapakah juara satunya?’ Juri sembari garuk-garuk kepala karena berat memutuskan.
“Ya juara satu lomba menulis cerpen jatuh pada Tuti Harimurti dari sekolah dasar negeri Jabres dengan cerpennya berjudul Ibu, Aku memang berbeda”
Suara riuh memenuhi ruangan itu. Cerita tentang dirinya mampu membawanya ke atas panggung. Tuti terharu. Serasa seperti bermimpi. Apakah ini mimpi. Tidak. Ini kenyataan. Tuti lalu maju dengan kaki kanannya diseret. Jalannya terseok-seok. Tiba-tiba suasana menjadi senyap. Beberapa pasang mata mulai tercengang. Tapi inilah sang juaranya. Walaupun masih dalam satu kecamatan, Tuti mampu membuat harum nama sekolahnya. Membuat bangga teman-temannya, membuat bangga orang tuanya pula.
Tuti memang tidaklah sempurna. Tapi Ia tak pernah mencoba mengeluh, Ia punya semangat yang mungkin orang normal tidak memiliki semangat sebesar itu. Tuti tetap bersyukur karena dibalik kekurangan pasti ada kelebihan. Tuti tahu karena Allah Swt. Maha Adil untuk setiap hambanya. Kini Tuti menjadi sosok yang menginspirasi teman-temannya untuk selalu menghargai orang-orang disabilitas.




No comments:

Post a Comment