Ibu,
Aku Memang Berbeda
Karya : Beni Purna I, S. Pd.
Ya di
sinilah Tuti melepas penat dari carut marut kehidupan yang tak bertepi. Selesai
satu persoalan muncul lagi persoalan yang baru. Begitu seterusnya. Dari segala
macam problema hidup maka Ia tuliskan sajak hidupnya yang teramat getir di atas
kertas yang masih suci. Sampai masalah mengajarkannya untuk lebih arif dan
bijaksana dalam menyelesaikan masalah yang semrawut yang tak bisa lepas dari
kehidupannya.
“Tut,
kamu menangis?” tanya Amel sembari mendekatkan duduknya
“Tidak
kok Mel” elak Tuti
“Jangan
bohong, itu? Amel menunjuk air mata Tuti yang mulai menganak sungai
Tuti
mencoba mengusap air matanya.
“Abis
diledekin ya?” lanjut Amel
Tuti
hanya mengangguk
“Diledekin
kenapa?”
“Kata
Rani, anak pengkor nggak boleh ikut main”
“Jahat
banget sih Dia, ya sudah main bareng aku aja Tut”
Amel
mecoba mengajaknya bermain dan bersenda gurau. Berharap bisa menghapus laranya.
“Tet
,,Tet,, Tet,, Tett!!! Bel sekolah memanggil-manggil siswa untuk masuk kelas
Ya
ketika yang lain berlarian, menuju kelas masing-masing. Apa yang terjadi dengan
Tuti? Ia pun mencoba berlari. Sekuat mungkin. Semampunya. Langkahnya
terseok-seok. Alhasil Tuti terjatuh. Tapi Ia coba untuk bangkit
lagi. Dengan kaki kanan yang diseret. Ia sampai kelas.
“Kasihan
Tuti” kata temannya melihat dari balik jendela
Saat Ibu
guru menanyakan tentang cita-cita. Sontak riuh gemuruh yang terdengar. Terbesit
cita-cita apa yang cocok untuk dirinya. Tuti bingung. Ia tidak tahu. Saat tiba
gilirannya.
“Tuti,
cita-cita kamu kalau sudah besar mau jadi apa?” tanya bu
Guru
“Tuti
bingung Bu, Tuti tidak tahu” Jawabnya
“Kenapa
tidak tahu?” Bu Guru kembali bertanya
“Iya
Bu, Tuti pengin jadi dokter tapi kaki Tuti begini. Mana ada dokter yang kakinya
begini” celetuk Tuti dengan polosnya.
Mungkin
Tuti mencoba menekan perasaannya. Sontak seisi kelas menjadi menertawakannya.
Tuti
memang tak seberuntung kalian sobat. Jika kalian masih mempunyai kaki untuk
berjalan. Maka bersyukurlah kalian pada yang Kuasa. Sejak kecil kaki kanan Tuti
memiliki ukuran lebih kecil dari kaki kirinya. Dengan kesabaran dan penuh kasih
sayang orang tua Tuti mendidiknya. Dengan pit ontel, Ibunya biasa mengantar dan menjemput Tuti menimba ilmu. Ibu menjemput Tuti pulang ke rumah meskipun terik matahari, tak begitu
dirasa oleh ibu yang sudah terbiasa bekerja di bawah terik matahari.
Sore harinya sekitar pukul setengah tiga, Tuti sedang duduk manis sembari melihat
kawan-kawannya sedang bermain. Hanya melihat baginya
membosankan, maka dia berniat untuk ikut bermain bersama mereka.
“Tam,
aku boleh ikut main tidak?” pintanya penuh
harap
“Bisa?”
timpal Tami penuh keraguan
Tuti
tidak yakin tetapi Ia ingin mencoba. Ia diam.
“Kalau
tidak bisa, jangan ikut main lah. Nanti malah ganggu” celoteh
Siti
“Lihat
noh, kaki loe aja susah jalan apalagi buat melompat” ujar
Novi pindahan dari Bekasi
Kalian
tahu sobat bagaimana perasaan Tuti saat itu? Ia tak bisa membendung air
matanya. Bulir air matanya memaksa untuk keluar. Semakin Ia melawan semakin
sakit yang dirasakan. Hancur sudah hatinya. Semenjak itu pula Tuti menjadi
minder, jarang keluar rumah, malu dengan teman-temannya. Sungguh Tuti bersyukur
memiliki Ibu yang sangat peduli. Ibu yang selalu memberikan motivasi-motivasi
yang membuat Tuti tegar.
Adzan
ashar berkumandang, sejenak mencoba mendengarkan muazin yang menyanyikannya.
Ibarat obat yang menyembuhkan penyakit. Adzan itu membuatnya hati Tuti damai,
tenang, dari gejolak batin yang sangat luar biasa. Malaikatpun seolah-olah menyuruhnya
untuk segera solat. Dengan kyushu. Karena dengan seperti itu, manusia akan
lebih merasakan ketenangan bila dekat dengan-Nya dan semoga akan lebih bisa
mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Bersyukur kata kuncinya.
“Ya
Allah kenapa kaki Tuti seperti ini, sembuhkanlah kaki Tuti ya Allah agar Tuti bisa
bermain seperti mereka. Semoga kaki Tuti cepat sembuh. Amin” Doa Tuti
sekonyong-konyongnya sembari tersedu-sedu
Tak
lama kemudian orang tuanya Tuti pulang. Mengais rezeki dari sampah dan pulang
membawa sampah pula. Bagi mereka pekerjaan itu jauh lebih mulia dari pada orang
yang mengambil hak yang bukan haknya. Ada yang salah di negeri semrawut ini.
Orang yang jauh lebih mampu dibandingkan keluarga Tuti jutru mendapatkan BLT.
Sedangkan kelurga Tuti tak pernah mendapatkannya. Ketika mereka, orang-orang
yang mengambil hak yang bukan haknya dibilang orang miskin justru mereka
tersinggung. Bukankah sejatinya BLT diperuntukkan untuk orang-orang tidak
mampu?
Waktu gegas berlalu dan magrib pun kunjung datang. Seusai solat
maghrib, Ibunya lalu makan. Sedari tadi sore belum makan, beberapa kali suara
cacing dalam perutnya menuntut jatah makanannya. Tuti dengan langkah
sempoyongan menghampiri ibunya. Tuti terjatuh. Melihat hal itu Ibunya menghentikan
makannya dan menolong Tuti.
“Kamu
tidak apa-apa nduk?” tanya ibunya penuh kecemasan
“Tidak
apa-apa kok bu” elaknya sambil menahan perih
“Ya
sudah jalannya pelan-pelan saja” kata Ibunya
sembari menuntunnya
Setelah
senyap beberapa saat. Ibunya menatap dalam-dalam permata hatinya. Ia harus
kelihatan kuat meski hatinya ingin menangis melihat anaknya seperti itu. Ia tak
ingin menunjukkan kesedihannya di hadapan Tuti.
“Bapak
di mana Bu?” tanya tuti memecah kesenyapan
“Bapakmu
lagi keluar sebentar nduk” jawab Ibunya
Suasana
kembali senyap. Tuti menatap selasar sudut ruangan dengan tatapan kosong.
“Sudah
makan belum nduk?” tanya Ibunya
Tuti
hanya menggeleng
“Kok
belum makan”? Sambung ibunya lagi
Keadaan
kembali hening. Ibunya mencoba memahami apa yang terjadi dengan anaknya.
“Nduk,
kamu baik-baik saja kan apa lagi tidak enak badan?” tanya
Ibunya sembari khawatir
“Bu…tadi
di sekolah Tuti dibilang anak pengkor sama Rani. Terus tadi siang Tuti juga
diejek sama Tami, Siti dan Novi. Mereka bilang kalau Tuti tidak bisa jalan.
Mengapa kaki kanan Tuti seperti ini Bu?” celoteh
Tuti mengungkapnya sakit hatinya
Ibunya
tak kuasa mendengar apa yang didengar dari anaknya. Matanya mulai berair. Mulai
turun membentuk parit-parit di pipi kanan dan kirinya.
“Ibu
kok menangis, kenapa?” tanya Tuti
“Nduk,
kamu memang anak yang berbeda dari anak yang lainnya. Sejak lahir kamu sudah
seperti itu. Ibu tidak tahu kenapa. Yang tahu hanya Allah Swt.
Syukuri apa yang ada nduk karena Ibu yakin di balik ini semua pasti ada
hikmahnya” urai Ibunya
“Iya
Bu, ya sudah Ibu jangan sedih nanti Tuti jadi ikut sedih Bu” kata
Tuti
“Iya
nduk karena di balik kekurangan pasti ada kelebihan. Kelebihan yang ada dalam
diri kamu. Ibu yakin itu” timpal Ibunya
“Tuti
lelah bu, Tuti mau ke kamar dulu” ucap Tuti
Tuti
kembali menuju kamarnya. Malam-malamnya selalu diisi dengan belajar, entah
kenapa malam itu Ia tak bergairah belajar. Ia justru malah asik menulis. Tuti
memang suka menulis. Dalam sela-sela waktunya Ia sempatkan menulis. Sebelum
berangkat ke mimpinya Ia sempatkan menulis pula. Beberapa temannya tahu kalau Tuti
suka menulis.
Waktu
itu sekolah mengadakan sayembara menulis cerita pendek untuk tingkat kecamatan
Sruweng. Tuti ditunjuk oleh teman-temannya mewakili kelas 5 untuk ikut lomba
tersebut. Teman-temannya tahu kalau Tuti suka menulis. Dengan didampingi oleh wali
kelasnya, lusa besok Tuti berangkat ke gedung kesenian yang ada di kota
tersebut.
“Bu,
Tuti di tunjuk sama teman-teman Tuti untuk ikut lomba menulis cerpen?” ucap Tuti
“Wah
itu bagus Nduk” timpal Ibunya sembari memuji
“Tapi
Tuti tidak yakin Bu kalau Tuti bisa” sambung
Tuti penuh keraguan
“ Harus
yakin dong nduk, setahu Ibu kamu memang suka menulis toh. Jadi Ibu yakin kamu
pasti bisa” ucapnya sembari memberikan siraman
motivasi
“Iya
Bu, Doakan Tuti ya Bu” pinta Tuti
“Iya
nduk pasti Ibu doakan” jawab Ibunya
Lalu
Tuti melangkah menuju kamarnya. Ia latihan menulis cerita-cerita. Sebelum
tidur, Ia menyucikan dengan berwudhu. Menunaikan solat isya sembari berdoa pada
Sang Kuasa.
Matahari
pagi mulai menyoroti wajahnya yang imut itu. Suara merdu burung-burung mewarnai
indahnya pagi itu. Tuti siap mengikut lomba menulis cerpen. Dengan semangat
Tuti didampingi wali kelasnya berangkat menuju gedung kesenian. Di sana Tuti
harus bersaing dengan temannya yang berasal dari sekolah yang berbeda-beda.
Setelah
lomba selesai. Cerita pendek hasil goresan anak-anak diulas oleh juri-juri yang
sudah mumpuni. Maka ditentukanlah juara 1,2 dan 3. Ketika sang juri mulai
membacakannya hati Tuti berdebar-debar. Dibacakannya juara 3.
“Juara
3 lomba menulis cerpen adalah Sariati dari sekolah dasar negeri Sidoagung
dengan cerpennya berjudul pelajaran mengarang”
Suara
tepuk tangan memenuhi ruangan itu.
“Selanjutnya
juara keduanya adalah Ahmad Fauzi dari sekolah dasar negeri Trikarso dengan
cerpennya berjudul liburan”
Ahmad
fauzi lalu maju sembari riuh gemuruh diberikan untuknya.
“Siapakah
juara satunya?’ Juri sembari garuk-garuk kepala karena berat memutuskan.
“Ya
juara satu lomba menulis cerpen jatuh pada Tuti Harimurti dari sekolah dasar
negeri Jabres dengan cerpennya berjudul Ibu, Aku memang berbeda”
Suara
riuh memenuhi ruangan itu. Cerita tentang dirinya mampu membawanya ke atas
panggung. Tuti terharu. Serasa seperti bermimpi. Apakah ini mimpi. Tidak. Ini
kenyataan. Tuti lalu maju dengan kaki kanannya diseret. Jalannya terseok-seok.
Tiba-tiba suasana menjadi senyap. Beberapa pasang mata mulai tercengang. Tapi
inilah sang juaranya. Walaupun masih dalam satu kecamatan, Tuti mampu membuat
harum nama sekolahnya. Membuat bangga teman-temannya, membuat bangga orang
tuanya pula.
Tuti
memang tidaklah sempurna. Tapi Ia tak pernah mencoba mengeluh, Ia punya
semangat yang mungkin orang normal tidak memiliki semangat sebesar itu. Tuti
tetap bersyukur karena dibalik kekurangan pasti ada kelebihan. Tuti tahu karena
Allah Swt. Maha Adil untuk setiap hambanya. Kini
Tuti menjadi sosok yang menginspirasi teman-temannya untuk selalu menghargai
orang-orang disabilitas.
No comments:
Post a Comment