Sunday, June 3, 2018

Tiada Yang Sempurna









Tiada Yang Sempurna
Oleh : Dyah Budi Utami


          Pagi itu matahari sudah terbit dari ufuk timur. Embun pagi masih menempel di dedaunan. Tertimpa cahaya matahari terlihat kemilau keperak-perakan. Burung-burung pun berkicauan seolah ikut menyambut cerahnya pagi itu.
          Ada dua ekor kupu-kupu bernama Shinta dan Reni yang sedang asyik terbang ke sana ke mari mencari madu.“Reni, di sana ada banyak madu “ kata Shinta mengawali percakapan. “Wah…kita ke sana yuk!” jawab Reni. Mereka terbang menghampiri bunga-bunga yang berada  di tengah-tengah rumpun pohon talas.
          Terlihat Lulu si belalang yang duduk melamun sendirian. “Selamat pagi, Lulu?” sapa Reni. “Eh…selamat pagi juga,” jawab Lulu. “Kalian mau apa kemari?” tanya Lulu penasaran. “Kami mau mengambil madu itu,” jawab Shinta. “O…,silakan,” kata Lulu. Shinta dan Reni menghisap madu yang ada dalam bunga itu.
          Lulu heran melihat Shinta dan Reni. Dia memandangi dirinya sambil berkata dalam hati. “Kok jauh sekali perbedaan diriku dengan mereka ya. Sayap Shinta dan Reni indah sekali. Hampir semua warna ada pada tubuh mereka. Hijau, ungu, kuning, putih, merah, dan masih banyak lagi. Sedangkan aku?” Lulu memandangi dirinya kembali dengan malu. Cuma warna hijau agak coklat yang selalu setia menghiasi dirinya. “ Duh, jeleknya,”  bisik Lulu dalam hati.
          Lulu melamun sesaat meratapi nasibnya. “Hei…pagi-pagi kok sudah melamun,” tiba-tiba pertanyaan Reni mengejutkan Lulu. “Aku merasa malu sama kalian,” jawab Lulu. “Malu sama kami, mengapa?” tanya Shinta penasaran. “Lihatlah diriku! Sayapku jelek tidak seperti sayap kalian. Aku hanya bisa melompat, melompat, dan melompat. Uuhh …menyebalkan,” keluh Lulu. “Begitu saja kok malu. Dulu kami juga jelek bahkan lebih parah darimu,” cerita Reni. “Benarkah itu?” tanya Lulu. “Ya iya lah. Dulu kami berwujud ulat yang sangat buruk. Kami tidak sempurna, berjalan sangat lambat apalagi kalau terkena sinar matahari. Ah…. pokoknya semua jijik ketika melihat kami,” cerita Shinta. Lulu asyik mendengar cerita Shinta dan Reni. “Saat kami jadi ulat bentuk kami sangat buruk, kami pun merasa malu. Tapi, kami tidak putus asa. Kami berdoa pada Tuhan agar kami diberikan perubahan bentuk yang lebih baik. Kami sengaja tidak makan apa pun, tidak minum, dan tidak bergerak sedikit pun. Akhirnya kami pun merasakan perubahan itu. Kami sangat bersyukur usaha yang kami lakukan tidak sia-sia. Dan, hasilnya ya seperti saat ini,” cerita Reni sambil memamerkan sayapnya. “Apa aku boleh berdoa kepada Tuhan?” tanya Lulu. “Tentu saja boleh,” Reni menjelaskan dengan serius.
“Apa wujudku bisa berubah juga seperti wujud  kalian?” tanya Lulu lagi. “Kalau itu kita sih nggak tahu,” jawab Shinta dan Reni serempak. “Semua yang terjadi di dunia ini hanya Tuhanlah yang tahu,” kata Shinta. “Kalau aku puasa, apa Tuhan akan mengabulkan permintaanku?” lagi-lagi Lulu bertanya. “Tuhan akan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya yang wajar-wajar saja. Tapi, mengapa kamu menginginkan perubahan pada dirimu? Kamu sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk berwujud seperti ini, dan kami ditakdirkan oleh Tuhan  mengalami perubahan yang lebih baik pada diri kami. Tapi, siapa tahu Tuhan akan memberikan keajaiban padamu,” jelas Reni. “Ya ampun, hari sudah siang nich, kami harus pulang membantu ibu mencari madu untuk makan malam nanti,” kata Shinta. “Selamat tinggal Lulu, daaah…sampai jumpa besok ya,” sapa Shinta dan Reni pada Lulu. “Ya, sampai jumpa besok, kita main bareng lagi ya,”  kata Lulu.

          Keesokan harinya Lulu duduk di depan rumah Shinta dan Reni. Ia ingin bermain bersama mereka berdua. Mereka pergi ke taman bunga di dekat sungai. Di sana ada teman-teman Shinta dan Reni yang sudah menanti kedatangan mereka. “Maaf, sudah lama menunggu yach?” tanya Shinta. “Yach…gitu dech,” jawab teman-teman Shinta dan Reni serempak.  “Oke, teman-teman kita mulai bermain ya,” kata Shinta. Shinta, Reni, dan teman-temannya beterbangan sampai jauh. Kelihatannya mereka sangat senang. Tapi, tidak bagi Lulu. Dia hanya duduk di atas batang pohon sendirian.  Hari sudah semakin sore. Mereka segera mengakhiri permainannya. Dalam perjalanan pulang Lulu bertanya kepada Reni. “Aku boleh bertanya sesuatu padamu?” tanya Lulu. “Boleh, kamu mau tanya apa?” jawab Reni. “Selama kamu bermain dengan aku, apa kamu tidak merasa malu?” tanya Lulu. “Malu, malu kenapa?” Reni balik bertanya pada Lulu. “Ya…kamu kan tahu sendiri kalau aku tidak seperti teman-temanmu yang lain. Aku tidak bisa terbang sepertimu. Aku jadi merasa minder,”  keluh Lulu. “Lu, dengerin aku ya, di mata Tuhan kita semua sama, yang membedakan hanyalah amal perbuatan kita. Jadi…aku ingin kamu nggak usah minder, Lu. Aku ingin persahabatan kita tidak putus hanya gara-gara kita beda. Aku janji, aku akan setia menemani hari-harimu dan aku akan jadi sahabat terbaikmu,” jelas Reni. “Aku juga Lu, aku akan tetap jadi sahabatmu meski kita beda,” kata Shinta sambil mengembangkan sayapnya menyentuh kepala Lulu dengan penuh rasa sayang. “Terima kasih ya…. Shinta dan Reni, kalian memang sahabat terbaikku,” kata Lulu penuh haru. Shinta dan Reni sudah sampai di depan rumahnya. Sementara Lulu masih harus melanjutkan perjalanan untuk sampai ke rumahnya yang tidak begitu jauh dari rumah Shinta dan Reni. Mereka pun berpisah.
          Sampai di rumah, Lulu masih terngiang-ngiang apa yang diceritakan oleh Shinta dan Reni tentang perubahan wujud pada diri mereka dan tentang takdir masing-masing. Dia  bingung, sampai-sampai tidak bisa tidur karena pertentangan yang ada dalam hatinya.
          Tak terasa pagi pun tiba.  Tapi, entahlah apa yang merasuki hati Lulu. Dia tetap bersikeras untuk memiliki keindahan yang telah dimiliki Shinta dan Reni.  Sejak pagi itu pun Lulu tidak mau makan dan minum, dan tidak bergerak sedikit pun.Dia hanya diam di atas daun talas seperti kepompong. Sudah lima hari Lulu berdiam seperti kepompong dan yang ia lakukan hanyalah berdoa kepada Tuhan agar dia diberi perubahan seperti yang dialami oleh Shinta dan Reni. 
               Teman-teman Lulu semua menjadi terheran-heran dengan perubahan pada diri Lulu. “Lu, kamu sakit ya? Kamu kok nggak pernah main lagi ?” tanya Windi si jangkrik. Lulu hanya diam tak memberi jawaban sepatah kata pun. “Aneh sekali, biasanya dia banyak omong. Kenapa dia jadi pendiam seperti itu?” tanya Dino si cacing keheranan. Lulu hanya diam membisu. “Apa yang sedang kamu pikirkan, Lu? Sampai-sampai wajahmu pucat, badanmu kurus dan matamu selalu terpejam?” tanya Rudi si kelabang. Lulu tetap saja diam. Kejadian itu benar-benar telah membuat teman-temannya sedih dan bingung. Semua mengira bahwa Lulu sudah gila.
          Hari berikutnya, semua teman-temannya datang lagi mencoba untuk menghiburnya dan mengajak ia bicara. “Kalau ada masalah bicaralah, siapa tahu kami bisa membantumu,” bujuk Windi. “Iya Lu, bicarakan saja apa masalahnya”, sahut Rudi. “Aku juga siap membantumu Lulu,” kata Dino ikut nimbrung. Semuanya sudah mengatakan kalau mereka siap membantu Lulu.  Mendengar apa yang dikatakan teman-temannya itu, hati Lulu akhirnya luluh juga. Lulu mau membuka matanya dan menceritakan keinginannya. “Aku melakukan ini, karena aku ingin seperti Shinta dan Reni,” kata Lulu. “Maksud kamu menjadi bangsa kupu-kupu?” tanya Dino. “Iya,” jawab Lulu. “Hah…apa itu semua mungkin?” kata Rudi. “Aku memohon agar Tuhan mengabulkan keinginanku,” kata Lulu. “Aduh, Lulu, Lulu…Tuhan hanya akan mengabulkan doa hambaNya yang baik dan wajar,” Windi mencoba menjelaskan. “Apa keinginanku untuk menjadi bangsa kupu-kupu itu tidak wajar?” tanya Lulu penasaran. “Ya, tentu saja tidak wajar,” sambung Rudi. “Tuhan telah menciptakan kamu sebagai belalang. Seharusnya kamu malah bersyukur,” kata Windi menambahi. “Sayapku jelek seperti ini. Aku merasa malu,” Lulu menanggapi. “Kenapa harus malu, siapa yang bilang kalau sayapmu jelek? Siapa, ayo katakan padaku Lulu?” tanya Dino. “Ya aku sendiri yang mengatakan,” kata Lulu. “Akan tetapi, aku tidak pernah menganggap sayapmu jelek. Malah aku menganggap sayapmu sangat indah. Lebih indah bila dibanding dengan sayapku,” kata Ucok si kecoa. Lulu menoleh pada Ucok. “Lihatlah aku, apa kamu pikir sayapku lebih indah dibandingkan sayapmu?” tanya Ucok. Lulu kemudian memandang Ucok. Kelihatannya memang benar. Sayap Ucok berwarna coklat tua. Bila dibandingkan dengan sayapnya memang lebih jelek. “Kalau begitu ya sudah Lu, jangan mengharapkan yang tidak-tidak. Sebentar lagi kita akan mengadakan lomba atletik. Kalau kamu masih saja semedi dan mengharapkan datangnya keajaiban, nanti siapa dong yang akan menjadi juara lompat jauh,”  kata Windi. “Selama ini kan kamu yang selalu menjadi juara lompat jauh,” Dino menimpali. “Juara tak terkalahkan,” kata Ucok mencoba memuji Lulu. “Nah, rupanya kamu masih lebih hebat kan dibandingkan Shinta dan Reni. Terus kenapa kamu ingin menjadi bangsa kupu-kupu?” tanya Rudi. “Iya Lu…, berjuanglah untuk kemenanganmu,” sahut Reni yang datang secara tiba-tiba dengan Shinta. Mendengar perkataan Reni, Lulu beranjak pergi. “Lulu, mengapa kamu pergi?” tanya Shinta. “A…a…aku….aku ma….malu sama kalian,” jawab Lulu dengan suara terbata-bata. “Mengapa mesti malu?” tanya Shinta. “Aku malu sama kalian karena kalian lebih sempurna dibandingkan aku,” jawab Lulu. “Siapa yang bilang kami sempurna? Kami banyak kekurangan, tapi kamu tidak mengetahuinya. Lu…percayalah di setiap kelebihan pasti ada kekurangan dan di setiap kekurangan pasti ada kelebihan,” jelas Reni. “Tapi, walaupun kalian mempunyai beberapa kekurangan, kalian tetap sempurna,” kata Lulu belum puas dengan penjelasan Reni. “Lu…dengerin ya…semua makhluk yang ada di muka bumi ini tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan semata,” jelas Shinta. “Lihatlah Anis si tupai. Dia terkenal dengan kepandaiannya melompat dari satu pohon ke pohon lain. Tapi, sepandai-pandai tupai melompat, pasti dia akan jatuh juga. Kamu percaya sama aku kan Lu?” jelas Reni. “Ya, aku percaya sama kamu kok. Sekarang aku sudah lega,” kata Lulu. “Lu, kami semua mohon sama kamu berubahlah dan hentikan semua perbuatan bodoh ini. Kamu mau kan berubah demi kami?” tanya Rudi. “Demi kalian aku akan menghentikan semua ini,” kata Lulu.
          Akhirnya, Lulu mengakhiri semua perbuatan konyolnya dan kini dia menyadari seharusnya dia mensyukuri segala apa yang dikaruniakan oleh Tuhan untuk dirinya. Janganlah cepat berputus asa kalau kita mempunyai kekurangan. Kita bisa menutupi kekurangan-kekurangan kita dengan kelebihan yang kita miliki.  Sadarilah bahwa memang tiada makhluk yang sempurna.


No comments:

Post a Comment