Tiada Yang Sempurna
Oleh
: Dyah Budi Utami
Pagi itu matahari sudah terbit dari
ufuk timur. Embun pagi masih menempel di dedaunan. Tertimpa cahaya matahari
terlihat kemilau keperak-perakan. Burung-burung pun berkicauan seolah ikut
menyambut cerahnya pagi itu.
Ada dua ekor kupu-kupu bernama Shinta
dan Reni yang sedang asyik terbang ke sana ke mari mencari madu.“Reni, di sana
ada banyak madu “ kata Shinta mengawali percakapan. “Wah…kita ke sana yuk!”
jawab Reni. Mereka terbang menghampiri bunga-bunga yang berada di tengah-tengah rumpun pohon talas.
Terlihat Lulu si belalang yang duduk
melamun sendirian. “Selamat pagi, Lulu?” sapa Reni. “Eh…selamat pagi juga,”
jawab Lulu. “Kalian mau apa kemari?” tanya Lulu penasaran. “Kami mau mengambil
madu itu,” jawab Shinta. “O…,silakan,” kata Lulu. Shinta dan Reni menghisap
madu yang ada dalam bunga itu.
Lulu heran melihat Shinta dan Reni. Dia
memandangi dirinya sambil berkata dalam hati. “Kok jauh sekali perbedaan diriku
dengan mereka ya. Sayap Shinta dan Reni indah sekali. Hampir semua warna ada
pada tubuh mereka. Hijau, ungu, kuning, putih, merah, dan masih banyak lagi.
Sedangkan aku?” Lulu memandangi dirinya kembali dengan malu. Cuma warna hijau
agak coklat yang selalu setia menghiasi dirinya. “ Duh, jeleknya,” bisik Lulu dalam hati.
Lulu melamun sesaat meratapi nasibnya.
“Hei…pagi-pagi kok sudah melamun,” tiba-tiba pertanyaan Reni mengejutkan Lulu. “Aku
merasa malu sama kalian,” jawab Lulu. “Malu sama kami, mengapa?” tanya Shinta
penasaran. “Lihatlah diriku! Sayapku jelek tidak seperti sayap kalian. Aku
hanya bisa melompat, melompat, dan melompat. Uuhh …menyebalkan,” keluh Lulu.
“Begitu saja kok malu. Dulu kami juga
jelek bahkan lebih parah darimu,” cerita Reni. “Benarkah itu?” tanya Lulu. “Ya iya
lah. Dulu kami berwujud ulat yang sangat buruk. Kami tidak sempurna, berjalan sangat
lambat apalagi kalau terkena sinar matahari. Ah…. pokoknya semua jijik ketika
melihat kami,” cerita Shinta. Lulu asyik mendengar cerita Shinta dan Reni.
“Saat kami jadi ulat bentuk kami sangat buruk, kami pun merasa malu. Tapi, kami
tidak putus asa. Kami berdoa pada Tuhan agar kami diberikan perubahan bentuk
yang lebih baik. Kami sengaja tidak makan apa pun, tidak minum, dan tidak
bergerak sedikit pun. Akhirnya kami pun merasakan perubahan itu. Kami sangat
bersyukur usaha yang kami lakukan tidak sia-sia. Dan, hasilnya ya seperti saat
ini,” cerita Reni sambil memamerkan sayapnya. “Apa aku boleh berdoa kepada
Tuhan?” tanya Lulu. “Tentu saja boleh,” Reni menjelaskan dengan serius.
“Apa
wujudku bisa berubah juga seperti wujud
kalian?” tanya Lulu lagi. “Kalau itu kita sih nggak tahu,” jawab Shinta dan Reni serempak. “Semua yang
terjadi di dunia ini hanya Tuhanlah yang tahu,” kata Shinta. “Kalau aku puasa,
apa Tuhan akan mengabulkan permintaanku?” lagi-lagi Lulu bertanya. “Tuhan akan
mengabulkan doa hamba-hamba-Nya yang wajar-wajar saja. Tapi, mengapa kamu
menginginkan perubahan pada dirimu? Kamu sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk
berwujud seperti ini, dan kami ditakdirkan oleh Tuhan mengalami perubahan yang lebih baik pada diri
kami. Tapi, siapa tahu Tuhan akan memberikan keajaiban padamu,” jelas Reni. “Ya
ampun, hari sudah siang nich, kami
harus pulang membantu ibu mencari madu untuk makan malam nanti,” kata Shinta.
“Selamat tinggal Lulu, daaah…sampai jumpa besok ya,” sapa Shinta dan Reni pada
Lulu. “Ya, sampai jumpa besok, kita main bareng
lagi ya,” kata Lulu.
Keesokan harinya Lulu duduk di depan
rumah Shinta dan Reni. Ia ingin bermain bersama mereka berdua. Mereka pergi ke
taman bunga di dekat sungai. Di sana ada teman-teman Shinta dan Reni yang sudah
menanti kedatangan mereka. “Maaf, sudah lama menunggu yach?” tanya Shinta. “Yach…gitu
dech,” jawab teman-teman Shinta dan Reni serempak. “Oke, teman-teman kita mulai bermain ya,” kata
Shinta. Shinta, Reni, dan teman-temannya beterbangan sampai jauh. Kelihatannya
mereka sangat senang. Tapi, tidak bagi Lulu. Dia hanya duduk di atas batang
pohon sendirian. Hari sudah semakin
sore. Mereka segera mengakhiri permainannya. Dalam perjalanan pulang Lulu
bertanya kepada Reni. “Aku boleh bertanya sesuatu padamu?” tanya Lulu. “Boleh,
kamu mau tanya apa?” jawab Reni. “Selama kamu bermain dengan aku, apa kamu
tidak merasa malu?” tanya Lulu. “Malu, malu kenapa?” Reni balik bertanya pada
Lulu. “Ya…kamu kan tahu sendiri kalau aku tidak seperti teman-temanmu yang
lain. Aku tidak bisa terbang sepertimu. Aku jadi merasa minder,” keluh Lulu. “Lu, dengerin aku ya, di mata Tuhan kita
semua sama, yang membedakan hanyalah amal perbuatan kita. Jadi…aku ingin kamu nggak usah minder, Lu. Aku ingin persahabatan kita tidak putus hanya gara-gara
kita beda. Aku janji, aku akan setia menemani hari-harimu dan aku akan jadi
sahabat terbaikmu,” jelas Reni. “Aku juga Lu, aku akan tetap jadi sahabatmu
meski kita beda,” kata Shinta sambil mengembangkan sayapnya menyentuh kepala
Lulu dengan penuh rasa sayang. “Terima kasih ya…. Shinta dan Reni, kalian
memang sahabat terbaikku,” kata Lulu penuh haru. Shinta dan Reni sudah sampai
di depan rumahnya. Sementara Lulu masih harus melanjutkan perjalanan untuk
sampai ke rumahnya yang tidak begitu jauh dari rumah Shinta dan Reni. Mereka
pun berpisah.
Sampai di rumah, Lulu masih
terngiang-ngiang apa yang diceritakan oleh Shinta dan Reni tentang perubahan
wujud pada diri mereka dan tentang takdir masing-masing. Dia bingung, sampai-sampai tidak bisa tidur
karena pertentangan yang ada dalam hatinya.
Tak terasa pagi pun tiba. Tapi, entahlah apa yang merasuki hati Lulu.
Dia tetap bersikeras untuk memiliki keindahan yang telah dimiliki Shinta dan Reni.
Sejak pagi itu pun Lulu tidak mau makan
dan minum, dan tidak bergerak sedikit pun.Dia hanya diam di atas daun talas
seperti kepompong. Sudah lima hari Lulu berdiam seperti kepompong dan yang ia
lakukan hanyalah berdoa kepada Tuhan agar dia diberi perubahan seperti yang
dialami oleh Shinta dan Reni.
Teman-teman Lulu semua menjadi terheran-heran
dengan perubahan pada diri Lulu. “Lu, kamu sakit ya? Kamu kok nggak pernah main lagi ?” tanya Windi si
jangkrik. Lulu hanya diam tak memberi jawaban sepatah kata pun. “Aneh sekali,
biasanya dia banyak omong. Kenapa dia
jadi pendiam seperti itu?” tanya Dino si cacing keheranan. Lulu hanya diam
membisu. “Apa yang sedang kamu pikirkan, Lu? Sampai-sampai wajahmu pucat,
badanmu kurus dan matamu selalu terpejam?” tanya Rudi si kelabang. Lulu tetap
saja diam. Kejadian itu benar-benar telah membuat teman-temannya sedih dan
bingung. Semua mengira bahwa Lulu sudah gila.
Hari berikutnya, semua teman-temannya
datang lagi mencoba untuk menghiburnya dan mengajak ia bicara. “Kalau ada
masalah bicaralah, siapa tahu kami bisa membantumu,” bujuk Windi. “Iya Lu,
bicarakan saja apa masalahnya”, sahut Rudi. “Aku juga siap membantumu Lulu,”
kata Dino ikut nimbrung. Semuanya
sudah mengatakan kalau mereka siap membantu Lulu. Mendengar apa yang dikatakan teman-temannya
itu, hati Lulu akhirnya luluh juga. Lulu mau membuka matanya dan menceritakan
keinginannya. “Aku melakukan ini, karena aku ingin seperti Shinta dan Reni,”
kata Lulu. “Maksud kamu menjadi bangsa kupu-kupu?” tanya Dino. “Iya,” jawab
Lulu. “Hah…apa itu semua mungkin?” kata Rudi. “Aku memohon agar Tuhan
mengabulkan keinginanku,” kata Lulu. “Aduh, Lulu, Lulu…Tuhan hanya akan
mengabulkan doa hambaNya yang baik dan wajar,” Windi mencoba menjelaskan. “Apa
keinginanku untuk menjadi bangsa kupu-kupu itu tidak wajar?” tanya Lulu
penasaran. “Ya, tentu saja tidak wajar,” sambung Rudi. “Tuhan telah menciptakan
kamu sebagai belalang. Seharusnya kamu malah bersyukur,” kata Windi menambahi.
“Sayapku jelek seperti ini. Aku merasa malu,” Lulu menanggapi. “Kenapa harus
malu, siapa yang bilang kalau sayapmu jelek? Siapa, ayo katakan padaku Lulu?”
tanya Dino. “Ya aku sendiri yang mengatakan,” kata Lulu. “Akan tetapi, aku
tidak pernah menganggap sayapmu jelek. Malah aku menganggap sayapmu sangat indah.
Lebih indah bila dibanding dengan sayapku,” kata Ucok si kecoa. Lulu menoleh
pada Ucok. “Lihatlah aku, apa kamu pikir sayapku lebih indah dibandingkan
sayapmu?” tanya Ucok. Lulu kemudian memandang Ucok. Kelihatannya memang benar.
Sayap Ucok berwarna coklat tua. Bila dibandingkan dengan sayapnya memang lebih
jelek. “Kalau begitu ya sudah Lu, jangan mengharapkan yang tidak-tidak.
Sebentar lagi kita akan mengadakan lomba atletik. Kalau kamu masih saja semedi
dan mengharapkan datangnya keajaiban, nanti siapa dong yang akan menjadi juara lompat jauh,” kata Windi. “Selama ini kan kamu yang selalu
menjadi juara lompat jauh,” Dino menimpali. “Juara tak terkalahkan,” kata Ucok
mencoba memuji Lulu. “Nah, rupanya kamu masih lebih hebat kan dibandingkan Shinta
dan Reni. Terus kenapa kamu ingin menjadi bangsa kupu-kupu?” tanya Rudi. “Iya
Lu…, berjuanglah untuk kemenanganmu,” sahut Reni yang datang secara tiba-tiba
dengan Shinta. Mendengar perkataan Reni, Lulu beranjak pergi. “Lulu, mengapa
kamu pergi?” tanya Shinta. “A…a…aku….aku ma….malu sama kalian,” jawab Lulu
dengan suara terbata-bata. “Mengapa mesti malu?” tanya Shinta. “Aku malu sama
kalian karena kalian lebih sempurna dibandingkan aku,” jawab Lulu. “Siapa yang
bilang kami sempurna? Kami banyak kekurangan, tapi kamu tidak mengetahuinya.
Lu…percayalah di setiap kelebihan pasti ada kekurangan dan di setiap kekurangan
pasti ada kelebihan,” jelas Reni. “Tapi, walaupun kalian mempunyai beberapa
kekurangan, kalian tetap sempurna,” kata Lulu belum puas dengan penjelasan Reni.
“Lu…dengerin ya…semua makhluk yang
ada di muka bumi ini tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan
semata,” jelas Shinta. “Lihatlah Anis si tupai. Dia terkenal dengan
kepandaiannya melompat dari satu pohon ke pohon lain. Tapi, sepandai-pandai
tupai melompat, pasti dia akan jatuh juga. Kamu percaya sama aku kan Lu?” jelas
Reni. “Ya, aku percaya sama kamu kok. Sekarang aku sudah lega,” kata Lulu. “Lu,
kami semua mohon sama kamu berubahlah dan hentikan semua perbuatan bodoh ini.
Kamu mau kan berubah demi kami?”
tanya Rudi. “Demi kalian aku akan menghentikan semua ini,” kata Lulu.
Akhirnya, Lulu mengakhiri semua
perbuatan konyolnya dan kini dia menyadari seharusnya dia mensyukuri segala apa
yang dikaruniakan oleh Tuhan untuk dirinya. Janganlah cepat berputus asa kalau
kita mempunyai kekurangan. Kita bisa menutupi kekurangan-kekurangan kita dengan
kelebihan yang kita miliki. Sadarilah
bahwa memang tiada makhluk yang sempurna.
No comments:
Post a Comment