A.
KEGIATAN
KRITIK SASTRA YANG PERTAMA DI DUNIA
Kegiatan
kritik sastra yang pertama dilakukan oleh bangsa Yunani (kurang
lebih
500 SM) yang
bernama Xenophanes dan Heraclitus,
yakni ketika keduanya mengecam pujangga Homerus yang gemar mengisahkan cerita tentang
Dewa-Dewi yang mereka anggap tidak senonoh dan bohong. Kata mereka berdua :
“Homerus dan Hesiodes menyebutkan sifat-sifat dewa-dewi yang dianggap oleh masyarakat dianggap tidak senonoh
lagi memalukan, yaitu pencurian, perzinaan dan penipuan.” Mereka berdua, yang
diwakili oleh Heraclitus, selanjutnya secara lantang mengatakan karena hal-hal
tersebutlah Homerus selayaknya tidak diberi hak
untuk mengikuti perlombaan-perlombaan atau pesta terbuka di Athena atau
diseluruh wilayah Yunani. Dengan demikian, kedua pujangga Yunani masa lalu,
Homerus dan Hesiodes, dicekal untuk tidak melakukan kegiatan olimpiade di Athena. Peristiwa kritik sastra yang pertama itu oleh Plato disebut sebagai
“pertentangan purba antara puisi dan filsafat” (Hardjana, 1981:1). Di
sini Homerus dan Hesiodes menulis puisi, menciptakan
karya sastra yang penuh dengan nilai-nilai estetika, serta penuh kreativitas
dan inovatif. Sementara itu Xenophanes dan Heraclitus berpijak pada filsafat
tentang dewa-dewi yang selalu mereka puja. Oleh karena itu, kritik sastra yang
pertama kali inilah yang bisa disebut dengan kritik sastra tradisional.
Kritik sastra tradisional tersebut kemudian diikuti oleh
tokoh-tokoh lain dari bangsa Yunani, seperti tokoh penyair komedian
Aristophanes (450-385 SM) lewat karyanya katak-katak yang mencoba mengkritik
penyair tragedi Euripides dengan mempertentangkn penyair tragedi pendahulunya
Aeschylus, yakni karya-karya yang bernilai sosial (moral) dengan karya-karya
yang bernilai seni. Kritik sastra yang dilakukan Aristhophane ini sudah mulai
bergeser ke karya sastranya, dalam arti tidak semata-mata mengarah pada
sastrawannya. Pada kritik Aristhophanes in i sudah mulai timbul pertentangan
antara seni untuk masyarakat yang berguna bagi pembacanya, dan seni sastra yang hanya semata-mata demi sastra itu
sendiri atau hanya untuk kepentingan estetika.
B.
KEGIATAN
KRITIK SASTRA BERDASAR SEJARAH DUNIA
I. KRITIK
SASTRA DI YUNANI
Sejarah
munculnya istilah ‘kritik sastra’ (dunia/Barat)) awal pertama kalinya
dipelopori oleh tiga orang tokoh besar asal negeri Yunani. Ketiga tokoh besar
tersebut antara lain adalah Plato, Aristoteles, dan Longinus.
a.
Kritik Sastra Plato (427—347 SM)
Plato adalah salah satu tokoh atau
orang pertama yang memperkenalkan istilah kritik sastra di dalam kaitannya
dengan ilmu sastra. Berbekal dari ilmu filsafat yang banyak ia pelajari dari
gurunya Sokrates (465—399 SM), sekitar tahun 387 ia mendirikan sekolah tinggi
yang terkenal di Atena. Sekolah tinggi itu diberi nama Akademi. Di
sekolah tinggi itulah Plato mulai mengajar dan mengembangkan kritik sastra.
Salah satu karya bukunya yang terkenal adalah buku yang berjudul “Republik”,
buku yang membahas tentang pandangan pembaca (kritik) tentang karya sastra
puisi. Di dalam kaitannya dengan istilah kritik sastra, pandangan atau konsep
yang disuguhkan Plato adalah pandangan atau konsep tentang ilmu mimetik
(tiruan) yang menghendaki agar karya sastra (puisi) dapat berisikan
ajaran-ajaran moral (bermanfaat; dulce).
Konsep Mimetik (tiruan) Plato:
Seniman (sastrawan) tidak akan mampu
meniru realita, karena realita yang ditiru oleh seniman (sastrawan) hanyalah
realita berdasarkan persepsi seniman (kepentingan tentang kepercayaan,
ideology, dan lain-lain). Akan tetapi, bukanlah realita dalam arti yang
sebenarnya oleh karena itu karya seni adalah palsu, tidak bermanfaat, dan dapat
menjerumuskan pembaca/penikmat seni.
b.
Kritik Sastra Aristoteles (384—322 SM)
Tokoh pengembangan kritik sastra adalah Aristoteles
yang juga berasal dari Yunani. Aristoteles adalah salah seorang murid yang
membantah sekaligus mengembangkan konsep/pandangan gurunya sendiri, Plato.
Konsep Mimetik (tiruan) Aristoteles:
Seniman
(sastrawan) memang tidak perlu meniru realita sebagaimana adanya—seniman
(satrawan) meniru realita berdasarkan persepsi seniman sendiri, dan hebatnya
karya seni (KS) yang diciptakan oleh seniman (satrawan) ditentukan oleh unsur
(1) creatio (kreativitas dalam menciptakan fiksionalitas), dan (2) universalia
(hal-hal yang universal/umum) yang memberI harapan baru memunyai efek bagi
pembaca/penikmat seni. Pandangan atau konsep tentang kritik sastra Aristoteles
terangkum dalam buku karangannya yang berjudul “Ilmu Poetika”. Di dalam buku “Ilmu
Poetika” itulah Aristoteles mengembangkan kajian teori mimetiknya menjadi
beberapa pokok pembahasan, antara lain sebagai berikut.
1.
Teori Puisi
a.
Dalam kaitannya dengan kritik,
Aristoteles meninjau sebuah karya sastra (puisi) dari sudut hubungan puisi
dengan manusia, misalnya tentang asal usul puisi. Pandangan konsep Aristoteles
menyatakan bahwa sebuah karya sastra (puisi) terbentuk atau tercipta dari
pembawaan lahir manusia (penulisnya sendiri). Dalam hal ini Aristoteles
memunyai pemaknaan bahwa manusia senang meniru dan senang akan tiruan yang
dilakukan oleh orang lain pula (pembawaan dari batin).
b.
Aristoteles menyetujui pendapat
Plato bahwa puisi tercipta berdasarkan tiruan (imitation). Akan tetapi, ia
member arti yang baru terhadap istilah tiruan tersebut. Baginya, tiruan sudah
bukan menjadi sebuah jiplakan lagi, melainkan tiruan adalah suatu penciptaan
kreatif. Artinya, pengarang (sastrawan) meniru dengan mengambil ide dari
fenomena kehidupan manusia dan menciptakannya menjadi sebuah sesuatu yang baru
(karya).
c.
Di dalam kaitannya dengan istilah
kritik sastra, pandangan atau konsep yang disuguhkan Aristoteles adalah
pandangan atau konsep tentang ilmu mimetik (tiruan) yang menghendaki agar karya
sastra (puisi) yang tercipta (melalui penciptaan kreatif) memunyai fungsi
utama, yakni member kesenangan untuk pembacanya (sesudah membaca kita menjadi
merasa senang; utile).
2.
Teori Tragedi (drama) meniru dengan perbuatan (dipentaskan; mimetik)
3.
Teori Epos, meniru dengan penceritaan (narasi; mimetik)
4.
Teori Komedi, meniru dengan lelucon, menjadi gila.
c.
Kritik Sastra Dionysius Cassius Longinus (210—273 M)
a.
Kritik sastra terangkum dalam sebuah
karya tulisnya (tesis) yang berjudul “Tentang Keagungan”. “Tentang Keagungan”
memunyai pemaknaan bahwa karya sastra yang agung adalah karya sastra yang bisa
memberikan perenungan, yang bisa menarik perhatian kita tanpa kemauan kita,
yang meninggalkan suatu kesan yang tak terhapus dari sanubari kita sendiri.
Artinya, sebuah karya sastra yang agung (bagus) adalah karya sastra yang bisa
menyenangkan manusia sepanjang abad (abadi; kanon).
b.
Dari konsep atau pandangan kecil itulah
Longinus memaknai (menilai) sebuah karya sastra dari sudut pandang estetika
(keindahan). Baginya, disamping karya sastra harus bermanfaat (dulce) dan
memberi kesenangan (utile), penciptaan karya sastra harus bisa menimbulkan katarsis
(perenungan, pembersihan, suci, dan bermanfaat).
c.
Catatan: Longinus
adalah kritikus yang mempelopori kritik STILISTIKA dan memperkenalkan ILMU
ESTETIKA.
C. KRITIK
SASTRA DI ROMAWI
Ada dua tokoh yang menjadi catatan
sejarah dan perkembangan kritik sastra di Romawi, antara lain sebagai berikut.
a.
Quintus
Horatius Placcus (65-8 SM)
Horatius adalah salah satu murid
yang juga belajar di sekolah tinggi di Atena. Horatius tercatat sebagai seorang
sastrawan yang banyak menghasilkan karya sastra yang berupa sajak-sajak remaja.
Dari beberapa karyanya itulah Horatius menulis “Ilmu Poetika” (10-8).
“Ilmu Poetika” (De Arte
Poetica”—[adalah surat-surat yang berbentuk puisi)
Sebuah
Pernyataan Horatius:
a.
Sumber dari karangan yang bagus
adalah pemikiran yang betul. Pemikiran yang betul adalah kebijaksanaan.
Artinya, pengarang harus tahu bagaimana seharusnya ia memilih tema serta gaya
bahasa yang cocok (sesuai)
b.
Puisi = lukisan dipertaruhkan
oleh jarak (waktu).
Artinya, kita bisa
mengasumsikan lukisan yang kita lihat jelek dari titik atau jarak pandang yang
dekat karena lukisan yang kita lihat sangat terlihat bagus dari jarak pandang
jauh. Atau mungkin malah sebaliknya, kita bisa mengasumsikan lukisan itu tampak
lebih bagus (indah) dari jarak yang dekat.
c.
Horatius lebih menekankan pada
kritik sastra yang mengacu pada penilaian aspek estetika stilistika terhadap
karya sastra.
Pengaruh
Horatius:
Pengaruh Horatius baru terlihat
tampak pada perkembangan kritik sastra pada abad Renaissance. Bukti pengaruhnya
adalah bahwa selera pembaca (kritikus) merupakan sebuah pertimbangan sastra
yang dianggap paling penting (Mutiara-mutiara kata yang banyak diucapkan).
b. Marcus
Fabius Quintilanus (40-118 M)
Quintilanus dilahirkan di Calagurris
Spanyol. Pendidikan hukum diperolehnya di Negara Roma. Sebuah karya tulisnya
yang tercipta adalah “Pembinaan Ahli Pidato” (Institute Oratoria) yang ditulis
dengan harapan agar bisa memberikan bimbingan bagi calon-calon ahli pidato
(ber-retorika). “Pembinaan Ahli Pidato” adalah bukunya yang banyak berisi kebijaksanaan
(retorik) yang diciptakannya sendiri.
a.
Di dalam sejarah dan pertumbuhan
kritik sastra Barat, ajaran Quintilanus lebih menekankan pada aspek penciptaan
sendiri (framing) dan penciptaan yang kreatif (bukan sebuah wujud dari
tiruan atau imitation).
b.
Sejarah dan awal pertumbuhan kritik
sastra Quintilanus dimulai dari sebuah telaah bahasa (stilistika) tentang
penggunaan retorika bahasa.
No comments:
Post a Comment