Sunday, June 10, 2018

Sejarah Kritik Sastra

 
A.    KEGIATAN KRITIK SASTRA YANG PERTAMA DI DUNIA
Kegiatan kritik sastra yang pertama dilakukan oleh bangsa Yunani (kurang lebih 500 SM) yang bernama Xenophanes dan Heraclitus, yakni ketika keduanya mengecam pujangga Homerus yang gemar mengisahkan cerita tentang Dewa-Dewi yang mereka anggap tidak senonoh dan bohong. Kata mereka berdua : “Homerus dan Hesiodes menyebutkan sifat-sifat dewa-dewi yang dianggap oleh masyarakat dianggap tidak senonoh lagi memalukan, yaitu pencurian, perzinaan dan penipuan.” Mereka berdua, yang diwakili oleh Heraclitus, selanjutnya secara lantang mengatakan karena hal-hal tersebutlah Homerus selayaknya tidak diberi hak  untuk mengikuti perlombaan-perlombaan atau pesta terbuka di Athena atau diseluruh wilayah Yunani. Dengan demikian, kedua pujangga Yunani masa lalu, Homerus dan Hesiodes, dicekal untuk tidak melakukan kegiatan olimpiade di Athena. Peristiwa kritik sastra yang pertama itu oleh Plato disebut sebagai “pertentangan purba antara puisi dan filsafat” (Hardjana, 1981:1). Di sini Homerus dan Hesiodes menulis puisi, menciptakan karya sastra yang penuh dengan nilai-nilai estetika, serta penuh kreativitas dan inovatif. Sementara itu Xenophanes dan Heraclitus berpijak pada filsafat tentang dewa-dewi yang selalu mereka puja. Oleh karena itu, kritik sastra yang pertama kali inilah yang bisa disebut dengan kritik sastra tradisional.
Kritik sastra tradisional tersebut kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh lain dari bangsa Yunani, seperti tokoh penyair komedian Aristophanes (450-385 SM) lewat karyanya katak-katak yang mencoba mengkritik penyair tragedi Euripides dengan mempertentangkn penyair tragedi pendahulunya Aeschylus, yakni karya-karya yang bernilai sosial (moral) dengan karya-karya yang bernilai seni. Kritik sastra yang dilakukan Aristhophane ini sudah mulai bergeser ke karya sastranya, dalam arti tidak semata-mata mengarah pada sastrawannya. Pada kritik Aristhophanes in i sudah mulai timbul pertentangan antara seni untuk masyarakat yang berguna bagi pembacanya, dan seni sastra yang hanya semata-mata demi sastra itu sendiri atau hanya untuk kepentingan estetika.

B.     KEGIATAN KRITIK SASTRA BERDASAR SEJARAH DUNIA

              I.     KRITIK SASTRA DI YUNANI
Sejarah munculnya istilah ‘kritik sastra’ (dunia/Barat)) awal pertama kalinya dipelopori oleh tiga orang tokoh besar asal negeri Yunani. Ketiga tokoh besar tersebut antara lain adalah Plato, Aristoteles, dan Longinus.
a.      Kritik Sastra Plato (427—347 SM)
Plato adalah salah satu tokoh atau orang pertama yang memperkenalkan istilah kritik sastra di dalam kaitannya dengan ilmu sastra. Berbekal dari ilmu filsafat yang banyak ia pelajari dari gurunya Sokrates (465—399 SM), sekitar tahun 387 ia mendirikan sekolah tinggi yang terkenal di Atena. Sekolah tinggi itu diberi nama Akademi. Di sekolah tinggi itulah Plato mulai mengajar dan mengembangkan kritik sastra. Salah satu karya bukunya yang terkenal adalah buku yang berjudul “Republik”, buku yang membahas tentang pandangan pembaca (kritik) tentang karya sastra puisi. Di dalam kaitannya dengan istilah kritik sastra, pandangan atau konsep yang disuguhkan Plato adalah pandangan atau konsep tentang ilmu mimetik (tiruan) yang menghendaki agar karya sastra (puisi) dapat berisikan ajaran-ajaran moral (bermanfaat; dulce).
Konsep Mimetik (tiruan) Plato:
Seniman (sastrawan) tidak akan mampu meniru realita, karena realita yang ditiru oleh seniman (sastrawan) hanyalah realita berdasarkan persepsi seniman (kepentingan tentang kepercayaan, ideology, dan lain-lain). Akan tetapi, bukanlah realita dalam arti yang sebenarnya oleh karena itu karya seni adalah palsu, tidak bermanfaat, dan dapat menjerumuskan pembaca/penikmat seni.


b.      Kritik Sastra Aristoteles (384—322 SM)
Tokoh pengembangan kritik sastra adalah Aristoteles yang juga berasal dari Yunani. Aristoteles adalah salah seorang murid yang membantah sekaligus mengembangkan konsep/pandangan gurunya sendiri, Plato.
Konsep Mimetik (tiruan) Aristoteles:
Seniman (sastrawan) memang tidak perlu meniru realita sebagaimana adanya—seniman (satrawan) meniru realita berdasarkan persepsi seniman sendiri, dan hebatnya karya seni (KS) yang diciptakan oleh seniman (satrawan) ditentukan oleh unsur (1) creatio (kreativitas dalam menciptakan fiksionalitas), dan (2) universalia (hal-hal yang universal/umum) yang memberI harapan baru memunyai efek bagi pembaca/penikmat seni. Pandangan atau konsep tentang kritik sastra Aristoteles terangkum dalam buku karangannya yang berjudul “Ilmu Poetika”. Di dalam buku “Ilmu Poetika” itulah Aristoteles mengembangkan kajian teori mimetiknya menjadi beberapa pokok pembahasan, antara lain sebagai berikut.
1.      Teori Puisi
a.       Dalam kaitannya dengan kritik, Aristoteles meninjau sebuah karya sastra (puisi) dari sudut hubungan puisi dengan manusia, misalnya tentang asal usul puisi. Pandangan konsep Aristoteles menyatakan bahwa sebuah karya sastra (puisi) terbentuk atau tercipta dari pembawaan lahir manusia (penulisnya sendiri). Dalam hal ini Aristoteles memunyai pemaknaan bahwa manusia senang meniru dan senang akan tiruan yang dilakukan oleh orang lain pula (pembawaan dari batin).
b.      Aristoteles menyetujui pendapat Plato bahwa puisi tercipta berdasarkan tiruan (imitation). Akan tetapi, ia member arti yang baru terhadap istilah tiruan tersebut. Baginya, tiruan sudah bukan menjadi sebuah jiplakan lagi, melainkan tiruan adalah suatu penciptaan kreatif. Artinya, pengarang (sastrawan) meniru dengan mengambil ide dari fenomena kehidupan manusia dan menciptakannya menjadi sebuah sesuatu yang baru (karya).
c.       Di dalam kaitannya dengan istilah kritik sastra, pandangan atau konsep yang disuguhkan Aristoteles adalah pandangan atau konsep tentang ilmu mimetik (tiruan) yang menghendaki agar karya sastra (puisi) yang tercipta (melalui penciptaan kreatif) memunyai fungsi utama, yakni member kesenangan untuk pembacanya (sesudah membaca kita menjadi merasa senang; utile).
2.      Teori Tragedi (drama) meniru dengan perbuatan (dipentaskan;  mimetik)
3.      Teori Epos, meniru dengan penceritaan (narasi; mimetik)
4.      Teori Komedi, meniru dengan lelucon, menjadi gila.

c.       Kritik Sastra Dionysius Cassius Longinus (210—273 M)
a.       Kritik sastra terangkum dalam sebuah karya tulisnya (tesis) yang berjudul “Tentang Keagungan”. “Tentang Keagungan” memunyai pemaknaan bahwa karya sastra yang agung adalah karya sastra yang bisa memberikan perenungan, yang bisa menarik perhatian kita tanpa kemauan kita, yang meninggalkan suatu kesan yang tak terhapus dari sanubari kita sendiri. Artinya, sebuah karya sastra yang agung (bagus) adalah karya sastra yang bisa menyenangkan manusia sepanjang abad (abadi; kanon).
b.      Dari konsep atau pandangan kecil itulah Longinus memaknai (menilai) sebuah karya sastra dari sudut pandang estetika (keindahan). Baginya, disamping karya sastra harus bermanfaat (dulce) dan memberi kesenangan (utile), penciptaan karya sastra harus bisa menimbulkan katarsis (perenungan, pembersihan, suci, dan bermanfaat).
c.       Catatan: Longinus adalah kritikus yang mempelopori kritik STILISTIKA dan memperkenalkan ILMU ESTETIKA.


              C.     KRITIK SASTRA DI ROMAWI
Ada dua tokoh yang menjadi catatan sejarah dan perkembangan kritik sastra di Romawi, antara lain sebagai berikut.
a.         Quintus Horatius Placcus (65-8 SM)
Horatius adalah salah satu murid yang juga belajar di sekolah tinggi di Atena. Horatius tercatat sebagai seorang sastrawan yang banyak menghasilkan karya sastra yang berupa sajak-sajak remaja. Dari beberapa karyanya itulah Horatius menulis “Ilmu Poetika” (10-8).
“Ilmu Poetika” (De Arte Poetica”—[adalah surat-surat yang berbentuk puisi)

Sebuah Pernyataan Horatius:
a.    Sumber dari karangan yang bagus adalah pemikiran yang betul. Pemikiran yang betul adalah kebijaksanaan. Artinya, pengarang harus tahu bagaimana seharusnya ia memilih tema serta gaya bahasa yang cocok (sesuai)
b.    Puisi = lukisan dipertaruhkan oleh jarak (waktu).
Artinya, kita bisa mengasumsikan lukisan yang kita lihat jelek dari titik atau jarak pandang yang dekat karena lukisan yang kita lihat sangat terlihat bagus dari jarak pandang jauh. Atau mungkin malah sebaliknya, kita bisa mengasumsikan lukisan itu tampak lebih bagus (indah) dari jarak yang dekat.
c.    Horatius lebih menekankan pada kritik sastra yang mengacu pada penilaian aspek estetika stilistika terhadap karya sastra.

Pengaruh Horatius:
Pengaruh Horatius baru terlihat tampak pada perkembangan kritik sastra pada abad Renaissance. Bukti pengaruhnya adalah bahwa selera pembaca (kritikus) merupakan sebuah pertimbangan sastra yang dianggap paling penting (Mutiara-mutiara kata yang banyak diucapkan).
b.      Marcus Fabius Quintilanus (40-118 M)
Quintilanus dilahirkan di Calagurris Spanyol. Pendidikan hukum diperolehnya di Negara Roma. Sebuah karya tulisnya yang tercipta adalah “Pembinaan Ahli Pidato” (Institute Oratoria) yang ditulis dengan harapan agar bisa memberikan bimbingan bagi calon-calon ahli pidato (ber-retorika). “Pembinaan Ahli Pidato” adalah bukunya yang banyak berisi kebijaksanaan (retorik) yang diciptakannya sendiri.
a.        Di dalam sejarah dan pertumbuhan kritik sastra Barat, ajaran Quintilanus lebih menekankan pada aspek penciptaan sendiri (framing) dan penciptaan yang kreatif (bukan sebuah wujud dari tiruan atau imitation).
b.       Sejarah dan awal pertumbuhan kritik sastra Quintilanus dimulai dari sebuah telaah bahasa (stilistika) tentang penggunaan retorika bahasa.



No comments:

Post a Comment