Friday, June 15, 2018

Cerita Pendek Beras Aking

Ini pilihanku ! Aku harus menjalankan usaha beras aking ini!” tekadku tegas dalam hati
Ya , aku tak mungkin menutup usahaku ini , yang sudah berjalan hampir satu tahun. Usaha yang tidak membawa keuntungan banyak , tapi ada kebanggaan di hati. Itu karena pengkonsumsi beras akingku adalah masyarakat miskin yang tidak mampu lagi membeli beras yang harganya sudah menggila , sementara cacing di perut terus menuntut atas kelaparannya. Dan usahaku ini adalah solusi untuk mereka dan cacing itu.Ya, makan nasi aking adalah sebuah pilihan rakyat miskin untuk tetap hidup.
Aku tahu abah tidak suka dengan usahaku ini. Permasalahannya karena keuntungan yang aku peroleh kurang dari cukup. Untuk bisa membahagiakan bapak dan ibu saja tidak bisa. Padahal mereka ingin kalau aku, kelak nanti bisa membiayai mereka pergi haji.
Bapak menyekolahkan kamu jauh-jauh, mahal, dengan usaha mati-matian, sampai ngutang, supaya kamu bisa dapat kerja yang mapan,” ujar bapak saat aku baru saja lulus dan baru satu bulan menjalankan usahaku.
Aku diam saat itu. Jujur, aku bingung bagaimana menjawabnya. Bapak yang hanya seorang petani garapan dan peternak, selama ini membiayaiku dengan upah hasil menggarap sawah orang dan menjual hasil ternak kambingnya yang jumlahnya mencapai tiga belasan. Kini di kandang tinggal seekor sapi dan tiga kambing yang masih tersisa. Biayaku kuliah di Jakarta memang berat, walaupun aku kuliah dikampus negeri, tetap saja berat. Titelku yang sebagai sarjana komonikasi pun tidak ada gunanya saat ini.
Demi mengisi hari-hariku di kampung, aku beranikan diri untuk membuka usaha beras aking, dari odal tabunganku semasa kuliah, hasil membantu Jhon teman kuliahku yang membuka usaha warung “Pecel Lele.” Jhon adalah satu dari beberapa mahasiswa yang kuliah sambil berwiraswasta. aku kagum dengan dirinya. Dan sebetulnya niatku membuka usaha beras akingku ini selain melihat kondisi rakyat miskin yang kelaparan, juga karena Jhon yang memotivasiku dalam berwiraswasta.
Aku mulai memburu nasi aking mulai pukul tujuh pagi selepas Dhuha. Mobil pick-up milik abah peninggalan dari kakek, aku gunakan untuk melancarkan usahaku. Targetku adalah pedagang makanan yang biasa mangkal di Pasar Rawu, Pasar Lama, Pasar Ciruas, beberapa kantin di kampus –kampus Serang, warung makan, dan ruma makan Padang. Aku bayar meraka tiga ratus rupiah untuk satu ember nasi aking yang aku dapatkan.
Senja aku pulang, dan segera merendam nasi aking itu dalam baskom besar, emak sudah menyiapkan sebelum aku datang. Esok paginya, barunasi aking di pisahkan dari lauk-pauknya saperti sambal, sayuran, tempe-tahu, dan tulang-tulang. Setelah bersih, baru ditiriskan dan dijemur, digelar tipis-tipis dinyiru yang diletakkan di para-para bambu rendah.
Aroma busuk masi bau. Setelah nasi aking kering kerontang, dan berwarna kecoklatan, lalat baru beterbangan.
Usahaku berjalan cukup lancar, nasi aking didistribusikan ke kampung-kampung, atau beberapa pasar tradisiponal di Karawang, Banten, Solo, dan Jakarta. Kini, sejak Jakarta dilanda banjir, orang Jakarta mulai memakan beras aking, hidup mereka berbenturan dengan harga senbako yang makin menggila. Untuk pendistribusian, aku ajak dua pemuda masjid di kampung (Girun dan Sholeh) yang selama ini bekerja serabutan dan banyak menganggur. Ibu dan dua adik kembarku Asih dan Esih yang masih duduk dibangku kelas 2 SMU, ikut serta membantu usahaku.
Aku menjual harga beras akingku berbeda-beda. Untuk beras yang butirannya masih utuh aku jual Rp.1.500 per liter. Butiran yang masih terbelah lima puluh persen aku hargai Rp.1.100 perliter, dan untuk yang banyak belahannya aku hargai Rp. 800 perliter.
Yu, bapak kasihan sama kamu. Hasil usaha kamu nggak banyakkan?”
Memang, Pak. Saya naroh di agen Rp.1.200, dijual Rp.1.500. Bayar nasi aking dua ratus lima puluh rupiah. Ongkos transport, tiga ratus lima puluh rupiah. Bayar asisten, tiga ratus rupiah, belum ongkos cuci, dan lain-lain dua ratus lima puluh rupiah. Ya.. untungnya dua ratus lah, itu dari perliternya. Tapi niat saya nolong, Pak.”
Baik sih niat kamu, tapi ya mau sampai kapan terus-terusan usaha beras aking. Itu tidak mencukupi apa-apa. Kelak kamu kan juga harus menabung untuk masa depanmuu.”
Ya bersabarlah pak, mudah-mudahan ada jalan terangnya. Masalah rezeki, Wahyu tidak pernah takut, yang penting ikhtiar dan do’a sudah maksimal.”
Bapak lebih memilih diam untuk menanggapi ucapanku.
Ya, nanti kalau usahanya mentok, Wahyu coba ngelamar kerjalah, Pak.” Ucapku untuk menenangkan hati bapak sementara.
Pagi ini, untuk pertama kalinya kau merasakan beras aking. Ibu yang memasaknya.
Mudah kok Yu masaknya. Nasi cukup direndam hingga mekar. Ditiriskan, terus dikukus.”
Ya memang mudah, nasi itu enak dimakan saat masih hangat di tambah lagi dengan sambal dan ikan sain layur.
Setelah makan, aku pamit kepada ayah dan emak untuk ke Jakarta. Hari ini aku mau melakukan penagihan utangku kepada, Engko Chan yang selama ini menjual beras aking ku di toko sembakonya. Engko Chan adalah satu-satunya agen yang paling sering berhutang, sementara kalau yang lain, biasanya pembayaran langsung dilakukan di muka ketika beras-beras aking ku diantar. Hari ini aku perintahkan Girun untuk memburu nasi aking.
Tapi, sesuatu terjadi diluar dugaanku. Belum sempat aku sampai ke toko Engko Chan, musibah menimpa ku. Mobil butut tua milik abahku raib ketika hampir sebentar aku ke toilet umum di sebuah pasar. Saat itu mobilku parkir. Mungkin karena ramainya pasar, dan orang tidak ada yang ngeh, jadi mobil itu hilang dengan mudahnya.
Bingung menyergap. Entahlah abah akan senang karena mobil bututnya hilang dan aku mencari tempat kerja ditempat lain, atau abah marah karena mobilnya hilang? “Tapi kalau bukan aku, bagaimana nasib orang miskin disana, siapa yang menjamin mereka besok bisa makan? Girun dan Soleh.” Gumam batinku gundah.

No comments:

Post a Comment