Ini
pilihanku ! Aku harus menjalankan usaha beras
aking ini!” tekadku tegas dalam hati
Ya , aku tak mungkin
menutup usahaku ini , yang sudah berjalan hampir satu tahun. Usaha
yang tidak membawa keuntungan banyak , tapi ada kebanggaan di hati.
Itu karena pengkonsumsi beras akingku adalah masyarakat miskin yang
tidak mampu lagi membeli beras yang harganya sudah menggila ,
sementara cacing di perut terus menuntut atas kelaparannya. Dan
usahaku ini adalah solusi untuk mereka dan cacing itu.Ya, makan nasi
aking adalah sebuah pilihan rakyat miskin untuk tetap hidup.
Aku tahu abah tidak
suka dengan usahaku ini. Permasalahannya karena keuntungan yang aku
peroleh kurang dari cukup. Untuk bisa membahagiakan bapak dan ibu
saja tidak bisa. Padahal mereka ingin kalau aku, kelak nanti bisa
membiayai mereka pergi haji.
“Bapak
menyekolahkan kamu jauh-jauh, mahal, dengan usaha mati-matian, sampai
ngutang, supaya kamu bisa dapat kerja yang mapan,” ujar bapak saat
aku baru saja lulus dan baru satu bulan menjalankan usahaku.
Aku diam saat itu.
Jujur, aku bingung bagaimana menjawabnya. Bapak yang hanya seorang
petani garapan dan peternak, selama ini membiayaiku dengan upah hasil
menggarap sawah orang dan menjual hasil ternak kambingnya yang
jumlahnya mencapai tiga belasan. Kini di kandang tinggal seekor sapi
dan tiga kambing yang masih tersisa. Biayaku kuliah di Jakarta memang
berat, walaupun aku kuliah dikampus negeri, tetap saja berat. Titelku
yang sebagai sarjana komonikasi pun tidak ada gunanya saat ini.
Demi mengisi
hari-hariku di kampung, aku beranikan diri untuk membuka usaha beras
aking, dari odal tabunganku semasa kuliah, hasil membantu Jhon teman
kuliahku yang membuka usaha warung “Pecel Lele.” Jhon adalah satu
dari beberapa mahasiswa yang kuliah sambil berwiraswasta. aku kagum
dengan dirinya. Dan sebetulnya niatku membuka usaha beras akingku ini
selain melihat kondisi rakyat miskin yang kelaparan, juga karena Jhon
yang memotivasiku dalam berwiraswasta.
Aku mulai memburu
nasi aking mulai pukul tujuh pagi selepas Dhuha. Mobil pick-up milik
abah peninggalan dari kakek, aku gunakan untuk melancarkan usahaku.
Targetku adalah pedagang makanan yang biasa mangkal di Pasar Rawu,
Pasar Lama, Pasar Ciruas, beberapa kantin di kampus –kampus Serang,
warung makan, dan ruma makan Padang. Aku bayar meraka tiga ratus
rupiah untuk satu ember nasi aking yang aku dapatkan.
Senja aku pulang,
dan segera merendam nasi aking itu dalam baskom besar, emak sudah
menyiapkan sebelum aku datang. Esok paginya, barunasi aking di
pisahkan dari lauk-pauknya saperti sambal, sayuran, tempe-tahu, dan
tulang-tulang. Setelah bersih, baru ditiriskan dan dijemur, digelar
tipis-tipis dinyiru yang diletakkan di para-para bambu rendah.
Aroma busuk masi
bau. Setelah nasi aking kering kerontang, dan berwarna kecoklatan,
lalat baru beterbangan.
Usahaku berjalan
cukup lancar, nasi aking didistribusikan ke kampung-kampung, atau
beberapa pasar tradisiponal di Karawang, Banten, Solo, dan Jakarta.
Kini, sejak Jakarta dilanda banjir, orang Jakarta mulai memakan beras
aking, hidup mereka berbenturan dengan harga senbako yang makin
menggila. Untuk pendistribusian, aku ajak dua pemuda masjid di
kampung (Girun dan Sholeh) yang selama ini bekerja serabutan dan
banyak menganggur. Ibu dan dua adik kembarku Asih dan Esih yang masih
duduk dibangku kelas 2 SMU, ikut serta membantu usahaku.
Aku menjual harga
beras akingku berbeda-beda. Untuk beras yang butirannya masih utuh
aku jual Rp.1.500 per liter. Butiran yang masih terbelah lima puluh
persen aku hargai Rp.1.100 perliter, dan untuk yang banyak belahannya
aku hargai Rp. 800 perliter.
“Yu,
bapak kasihan sama kamu. Hasil usaha kamu nggak banyakkan?”
“Memang,
Pak. Saya naroh di agen Rp.1.200, dijual Rp.1.500. Bayar nasi aking
dua ratus lima puluh rupiah. Ongkos transport, tiga ratus lima puluh
rupiah. Bayar asisten, tiga ratus rupiah, belum ongkos cuci, dan
lain-lain dua ratus lima puluh rupiah. Ya.. untungnya dua ratus lah,
itu dari perliternya. Tapi niat saya nolong, Pak.”
“Baik
sih niat kamu, tapi ya mau sampai kapan terus-terusan usaha beras
aking. Itu tidak mencukupi apa-apa. Kelak kamu kan juga harus
menabung untuk masa depanmuu.”
“Ya
bersabarlah pak, mudah-mudahan ada jalan terangnya. Masalah rezeki,
Wahyu tidak pernah takut, yang penting ikhtiar dan do’a sudah
maksimal.”
Bapak lebih memilih
diam untuk menanggapi ucapanku.
“Ya,
nanti kalau usahanya mentok, Wahyu coba ngelamar kerjalah, Pak.”
Ucapku untuk menenangkan hati bapak sementara.
Pagi ini, untuk
pertama kalinya kau merasakan beras aking. Ibu yang memasaknya.
“Mudah
kok Yu masaknya. Nasi cukup direndam hingga mekar. Ditiriskan, terus
dikukus.”
Ya memang mudah,
nasi itu enak dimakan saat masih hangat di tambah lagi dengan sambal
dan ikan sain layur.
Setelah makan, aku
pamit kepada ayah dan emak untuk ke Jakarta. Hari ini aku mau
melakukan penagihan utangku kepada, Engko Chan yang selama ini
menjual beras aking ku di toko sembakonya. Engko Chan adalah
satu-satunya agen yang paling sering berhutang, sementara kalau yang
lain, biasanya pembayaran langsung dilakukan di muka ketika
beras-beras aking ku diantar. Hari ini aku perintahkan Girun untuk
memburu nasi aking.
Tapi, sesuatu
terjadi diluar dugaanku. Belum sempat aku sampai ke toko Engko Chan,
musibah menimpa ku. Mobil butut tua milik abahku raib ketika hampir
sebentar aku ke toilet umum di sebuah pasar. Saat itu mobilku parkir.
Mungkin karena ramainya pasar, dan orang tidak ada yang ngeh, jadi
mobil itu hilang dengan mudahnya.
Bingung menyergap.
Entahlah abah akan senang karena mobil bututnya hilang dan aku
mencari tempat kerja ditempat lain, atau abah marah karena mobilnya
hilang? “Tapi kalau bukan aku, bagaimana nasib orang miskin disana,
siapa yang menjamin mereka besok bisa makan? Girun dan Soleh.”
Gumam batinku gundah.
No comments:
Post a Comment